Sabtu, 06 April 2013

PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat)

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hutan merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia, karena hutan memberikan sumber kehidupan bagi kita semua. Hutan menghasilkan air dan oksigen sebagai komponen yang sangat diperlukan bagi kehidupan umat manusia. Demikian juga dengan hasil hutan lainnya memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat.
Pengelolaan hutan bagi kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang perlu menjadi perhatian bersama, baik oleh pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha. Pemanfaatan nilai ekonomis hutan harus seimbang dengan upaya pelestarian lingkungan hidup sehingga hutan tetap dapat dimanfaatkan secara adil dan berkelanjutan. Pengelolaan hutan lestari (khususnya jati) di Pulau Jawa sudah berkembang sejak jaman penjajahan Belanda. Setelah itu diteruskan oleh pemerintah RI melalui Perhutani.
Pulau Jawa memiliki luasan hanya 6% dari luas wilayah Indonesia, tetapi 60% dari jumlah penduduk Indonesia tinggal di Jawa. Perum Perhutani sebagai BUMN yang diberi mandat untuk mengelola hutan negara dituntut untuk memberikan perhatian yang besar kepada masalah sosial ekonomi masyarakat, terutama masyarakat pedesaan yang sebagian besar tinggal di sekitar hutan. Interaksi antara masyarakat dengan hutan tidak mungkin dapat dipisahkan. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam pengelolaan hutan harus memperhatikan keberlanjutan ekosistem hutan dan peduli dengan masyarakat miskin di sekitar hutan.
Realitas yang terjadi saat ini kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya hutan belum menyentuh sama sekali kepentingan masyarakat dalam menjamin kesejahteraan dan perlindungan bagi pemanfaatan secara berkelanjutan. Kesejahteraan masyarakat yang dimaksud dapat diukur dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat di suatu wilayah.
Salah satu contoh bahwa kebijakan pemerintah belum mampu menyentuh dalam pengelolaan hutan adalah masih terdapatnya konflik antar Sektor Kehutanan. Konflik tersebut terjadi antara pihak masyarakat dan pihak Perhutani. Konflik ini berawal dari keinginan masyarakat untuk menumpahkan ketidakpercayaan kepada pemerintah, khususnya kepada aparat penjaga hutan, akibat manipulasi yang dilakukannya dengan para pemodal. Keterlibatan para pemodal yang sebagian besar berperan sebagai penadah itu, dilihat oleh masyarakat dari dua sisi.
Pertama, mereka semakin menyadari bahwa kegiatan kehutanan dapat menghasilkan pendapatan yang cukup besar dibandingkan dengan kegiatan masyarakat selama ini yang hanya terlibat dalam skala kecil, misalnya upah tanam, hasil tumpangsari, upah tebangan dan upah dari berbagai kegiatan lain. Kedua, masyarakat menyadari bahwa kegiatan kehutanan melibatkan begitu banyak pemain yang sebagian besar melanggar hukum. Kejadian-kejadian tentang keterlibatan oknum Perhutani, oknum militer, pemilik modal, dan pihak-pihak lain dalam jaringan gelap tata usaha kayu, saat ini menjadi terbuka ketika warga juga terlibat di dalamnya. Konflik terbuka antara masyarakat dan Perhutani dipicu ketika petugas Perhutani melakukan tindakan represif terhadap pencurian kayu, yang menyebabkan dua orang warga masyarakat tertembak pada pertengahan 1998.
Aksi penjarahan dan perambahan hutan tersebut sangat merugikan baik dari segi ekonomi, ekologi, sosial dan budaya. Untuk memperbaiki kondisi di kawasan hutan dan sejalan dengan terjadinya reformasi di bidang kehutanan, Perhutani menerapkan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dengan biaya ditanggung Perhutani sejak ditetapkannya kebijakan PHBM tahun 2001. Sistem PHBM ini dilaksanakan dengan jiwa bersama, berdaya, dan berbagi yang meliputi pemanfaatan lahan/ruang, waktu, dan hasil dalam pengelolaan sumberdaya hutan dengan prinsip saling menguntungkan, memperkuat dan mendukung serta kesadaran akan tanggung jawab sosial. Program PHBM diyakini menjadi salah satu terobosan Perhutani agar kejadian penjarahan tidak terulang kembali karena program ini menerapkan konsep bagi hasil. Program ini juga dinilai telah menggeser paradigma pengelolaan hutan yang berbasis hasil kayu ke pengelolaan yang berbasis sumberdaya yang mengedepankan pengelolaan sumberdaya hutan partisipatif dan dilakukan bersama masyarakat atau kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan terhadap kelestarian sumberdaya hutan.
Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1.    Mendeskripsikan status keberlanjutan pengelolaan hutan bersama       masyarakat yang dianalisis dari aspek ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan.
2.    Meningkatkan kompetensi mahasiswa kehutanan melalui program pembelajaran dalam  memanfaatkan produk hasil hutan untuk menunjang kesejahteraan masyarakat.
3.    Meningkatkan peran serta mahasiswa dan respon masyarakat terhadap perubahan global dan lingkungan dalam mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan.
4.   Memperkuat solidaritas antar masyarakat, mengetahui perkembangan-perkembangan yang terjadi pada tingkat lokal dan memunculkan alternatif pengelolaan SDH berdasarkan pengetahuan dan kebiasaan masyarakat melalui Program Pembelajaran Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat.
5.  Mendukung pengelolaan hutan berbasiskan pengetahuan dan kebudayaan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dengan jaminan kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati.



PERMASALAHAN

PHBM diawali dengan SK Direksi No. 136/KPTS/Dir/2001 tanggal 29 Maret 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Ketentuan ini dikuatkan dengan SK Gubernur Jawa Tengah No. 24 Tahun 2001 tanggal 26 September 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat dan SK Direksi PT Perhutani (Persero) No. 001/KPTS/Dir/2002 tanggal 2 Januari 2002 tentang Pedoman Berbagi Hasil Hutan Kayu. Sejak itu PHBM ditetapkan sebagai sistem pengelolaan hutan yang ideal.
Pelaksanaan PHBM yang diterapkan menemui beberapa kendala yang pada akhirnya menghambat kurang lancarnya pelaksanaan PHBM. Pada awal pelaksanaan program, masyarakat belum sepenuhnya percaya kepada pihak Perhutani. Selain itu kendala muncul karena sering terjadi adanya oknum masyarakat yang mempunyai kepentingan pribadi melakukan provokasi, sehingga pelaksanaan PHBM agak tersendat. Kendala pada sumberdaya manusia juga terjadi, yaitu pada SDM pihak internal Perhutani di tingkat bawah yang pemahaman tentang program PHBM belum komprehensif.
Proses penerapan PHBM tentu tidak lepas dari kendala dan hambatan baik dari internal maupun eksternal. Kendala dan hambatan yang dalam penerapan PHBM yang masih dirasakan masyarakat adalah masyarakat kurang memahami akan penerapan kebijakan PHBM. Tingkat pemahaman yang kurang menyebabkan terjadinya kesalahan dalam meginterpretasikan kebijakan PHBM di lapangan. Adanya pemahaman yang berbeda dalam masyarakat akan berakibat kurang berhasilnya tujuan dari PHBM dan kurang optimalnya hasil kegiatan PHBM. Masalah lain yang masih dirasakan oleh banyak pihak dari unsur yang terkait dengan PHBM adalah masalah alokasi dana bagi hasil (sharing) 25% untuk LMDH yang tercantum dalam kebijakan PHBM. Kurang sesuainya kebijakan mengenai alokasi dana dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan berdampak pada hasil pelaksanaaan PHBM yang kurang optimal.



PEMBAHASAN

A.  Sejarah, Prinsip, Perkembangan dan Tujuan Terbentuknya PHBM
Hutan adalah lumbung kehidupan. Karena di dalam hutan terdapat milyaran sumber kehidupan. Hutan-hutan tersebut telah berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman, perkebunan, sawah dan ladang. Tidak sedikit diantaranya menjadi lahan kritis yang rawan dengan longsor dan banjir setelah pembukaan hutan. Kerawanan lahan ini pada umumnya disebabkan oleh tingkat kemiringan lahan yang tidak sesuai dengan prosedur. Pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan struktur tanah serta kemiringan tersebut juga merupakan salah satu penyebabnya.
Program PHBM lahir diyakini menjadi salah satu terobosan Perhutani agar paradigma pengelolaan hutan yang berbasis hasil kayu mengarah kepada pengelolaan yang berbasis sumberdaya yang mengedepankan pengelolaan sumberdaya hutan partisipatif dan dilakukan bersama masyarakat atau kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan terhadap kelestarian sumberdaya hutan. Kegiatan PHBM dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolan sumber daya hutan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi, ekologi, dan sosial secara proporsional. Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup, kemampuan dan kapasitas ekonomi dan social masyarakat. Meningkatkan peran dan tanggung jawab PT. Perhutani (Persero), masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentinga terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. Meningkatkan mutu sumber daya hutan, produktivitas dan keamanan hutan. Menciptakan lapangn kerja, meningkatkan kesempatan berusaha dan meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) lahir dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan IPM yang bersifat fleksibel, partisipatif dan akomodatif.
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Keragaman masyarakat, kondisi geografis serta melalui proses panjang pengalaman empirik telah mendorong masyarakat membangun cara dan aturan (adat) yang khas khususnya dalam pengelolaan hutan. Hal tersebut juga menunjukkan hubungan yang khas antara masyarakat dan alam lingkungannya baik secara jasmani maupun rohani. Sejarah terbentuknya PHBM diwarnai oleh:
1.    Kebijakan pemerintah
2.    UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
3.    UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
4.    Permasalahan dari UU otonomi daerah
Melalui PHBM Perhutani bekerjasama dengan masyarakat desa hutan dan pihak-pihak lainnya melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan bersama. Kegiatan telah berlangsung sejak tahun 2001, sebagai keberlanjutan dari program program sosial perusahaan sejak dicanangkannya kebijakan Forest for People tahun 1978 di Indonesia. Tidak kurang dari 5.403 desa hutan di pulau Jawa dan Madura berada di sekitar kawasan hutan Perhutani. Sejak tahun 2005 sampai tahun 2010, Perhutani tercatat 5.054 desa hutan atau sekitar 94% dari total desa hutan di Pulau Jawa dan Madura bekerjasama melalui program PHBM.
PHBM dilaksanakan dengan prinsip-prinsip :
a.   Perubahan pola pikir pada semua jajaran Perhutani dari birokratis, sentralistik, kaku dan ditakuti menjadi fasilitator, fleksibel, akomodatif dan dicintai.
b.   Perencanaan partisipatif dan fleksibel sesuai dengan karakteristik wilayah.
c.    Fleksibel, akomodatif, partisipatif, dan kesadaran akan tanggung jawab sosial.
d.   Keterbukaan, kebersamaan, saling memahami, dan pembelajaran bersama.
e.    Bersinergi dan terintegrasi dengan program-program Pemerintah Daerah.
f.    Pendekatan dan kerjasama kelembagaan dengan hak , kewajiban yang jelas.
g.   Peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan.
h.   Pemberdayaan masyarakat desa hutan secara berkesinambungan.
i.     Mengembangkan dan meningkatkan usaha produktif menuju masyarakat mandiri dan hutan lestari.
j.     Supervisi, monitoring, evaluasi dan pelaporan bersama para pihak.
Pola PHBM kini perlu ditambah dengan suatu pola pemikiran baru, dimana pola PHBM tersebut harus menggunakan suatu perancangan dan pengembangan kawasan hutan yang diarahkan tidak hanya sebagai konservasi saja, tetapi juga sebagai kawasan produksi dan pengolahan dengan skala tertentu disektor pertanian-kehutanan dalam arti luas, penelitian, alih teknologi, ekspose, pendidikan dan latihan serta kerjasama bisnis dengan sektor swasta maupun masyarakat. Pola itu dapat disebut dengan pola PHBM plus-plus.
Untuk mewujudkan hal tersebut diatas, tentu saja Instansi yang bergerak disektor kehutanan tidaklah cukup hanya melakukan kerjasama dengan masyarakat sekitar hutan saja, tetapi juga harus melakukan sosialisasi dan koordinasi yang pada akhirnya membentuk suatu kerjasama yang kompleks dengan semua sektor yang berkaitan, seperti Instansi bidang pengairan, infrastruktur, pendidikan dan pelatihan, pertanian, dan bidang-bidang lain yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pola PHBM plus-plus perlu dirancang dengan beberapa pendekatan, seperti:
1.    Keterpaduan. Dengan mengintegrasikan beragam usaha tani-hutan dan industry hulu-hilir dalam suatu usaha tani terpadu bersiklus biologi.
2.    Pendekatan Niaga. Dengan melakukan pengelolaan seluruh aktifitas dengan pendekatan bisnis sebagai model pengelolaan hutan lestari secara mandiri.
3.    Keberlanjutan. Melakukan pendayagunaan sumber daya alam yang ada secara berkelanjutan untuk menjamin pelestarian lingkungan dan keberlangsungan program yang telah berjalan
4.   Pemberdayaan Masyarakat. Melakukan pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan, pelatihan, dan pelibatan pada seluruh kegiatan.
5.    Pemanfaatan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Memanfaatkan IPTEK dalam seluruh kegiatan demi peningkatan efisiensi produksi, keragaman dan kualitas produk serta nilai tambah melalui proses adaptasi, integrasi dan pengembangan IPTEK.
Salah satu contoh penerapan PHBM plus-plus adalah pada petak perhutani (petak 89) yang terletak di Desa Salam Mulya, Kecamatan Pondok Salam, Kabupaten Purwakarta yang pada saat ini telah berubah fungsi menjadi sawah tadah hujan dan ladang yang dikelola masyarakat.

B. Proses PHBM
Pada awal mula pencanangan, program PHBM belum banyak diketahui oleh banyak pihak. PHBM dianggap sama saja dengan program-program keproyekan dari pemerintah. Hal ini menjadikan munculnya sikap apatis pada masyarakat desa hutan. Perhutani mencoba bekerjasama dengan LSM local dalam rangka pendekatan awal dan sosialisasi kegiatan ke masyarakat. LSM bertugas mengidentifikasi segala macam permasalahan yang muncul, keinginan/ harapan masyarakat terhadap hutan jati, serta mengetahui karakteristik sosial ekonomi dan budaya masyarakat desa hutan. Secara bertahap LSM mulai memperkenalkan PHBM.
LSM memfasilitasi pertemuan antara Perhutani dengan masyarakat desa hutan. Dalam kesempatan ini, perhutani melakukan sosialisasi mengenai PHBM kepada masyarakat secara lebih rinci. Setelah sosialisasi dinilai cukup berhasil, kemudian dibentuklah Lembaga Masyarakat Desa (LMD). LMD adalah perwakilan masyarakat desa yang berperan sebagai wadah yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan PHBM di desa masing-masing. Pembentukan dan penyusunan pengurusnya diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. LMD kemudian dibentuk sebagai badan hukum sebagai atas nama masyarakat dalam rangka melakukan perjanjian atau kesepakan-kesepakatan dengan perhutani atau pihak lain yang terkait.
LMD kemudian dibentuk sebagai badan hukum agar dapat dibuat perjanjian (MoU) antara masyarakat dengan perhutani mengenai pelaksanaan PHBM. MoU memuat antara lain mengenai pemaparan tentang PHBM (termasuk istilah yang dipakai dalam MoU), hak dan kewajiban masing-masing pihak, serta mekanisme penyelesaian sengketa yang mungkin muncul di antara kedua pihak. Mengenai pembagian hasil (sharing) hasil tebangan, perhutani menggunakan rumus yang terdapat dalam SK Direksi PT Perhutani (Persero) No. 001/KPTS/Dir/2002 tanggal 2 Januari 2002 tentang Pedoman Berbagi Hasil Hutan Kayu. LMD berfungsi sebagai eksekutif dalam masyarakat. Dengan demikian perlu dibentuk lembaga kontrol (fungsi legislatif) berupa Forum PHBM. Forum PHBM terdapat di desa, kecamatan, dan kabupaten yang masing-masing diketuai oleh Sekretaris Desa, Sekretaris Kecamatan, dan Assisten bidang Kesra.
          Program PHBM secara yuridis tertuang dalam Surat Keputusan Direktur
Utama Perum Perhutani Nomor 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Kegiatan PHBM meliputi beberapa tahap kegiatan yaitu:
1.   Sosialisasi
Tahap sosialisasi dilakukan sebagai upaya pendekatan kepada masyarakat tentang hutan, kehutanan, dan penjelasan program-program PHBM kepada masyarakat dan jajaran petugas Perum Perhutani. Sosialisasi ini dilakukan oleh tim PHBM (beranggotakan petugas dari KPH, BKPH) maupun TPM (Tenaga Pendamping Masyarakat) yaitu LSM pendamping. Kegiatan ini memanfaatkan kegiatan rutin desa seperti pengajian, majelis taklim.
2.  Dialog
Dialog dilaksanakan untuk membicarakan hal-hal yang mengarah pada kerjasama mengelola hutan antara pihak Perum Perhutani dan masyarakat. Pembicaraan ini bertujuan untuk menyamakan persepsi tentang pengelolaan PHBM dan mendesain teknis pelaksanaan PHBM. Dalam tahap ini terjadi proses tawar menawar pendahuluan dalam pelaksanaan PHBM yang masing-masing berusaha mengakomodasi kebutuhannya (Perhutani dan masyarakat). Pada tahap dialog ini, masyarakat diwakili oleh para pemimpin lokal.
3.  Kelembagaan/Pembentukan KTH
Pembentukan kelembagaan adalah pembentukan organisasi Kelompok Tani Hutan (KTH) sebagai wadah kegiatan masyarakat desa hutan terkait dengan pengelolaan kawasan hutan. Struktur organisasi pada prinsipnya terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara, dan seksi keamanan. Pengurus biasanya adalah orang-orang yang dipandang sebagai tokoh masyarakat (pemimpin nonformal). Organisasi ini dibentuk disaksikan para pemimpin formal, nonformal baik dari pemerintah desa, Perum Perhutani maupun masyarakat.
4.  Negosiasi
Setelah lembaga dibentuk selanjutnya KTH membentuk AD & ART, menyusun ketentuan-ketentuan yang merupakan hak dan kewajiban pengurus anggota. Negosiasi merupakan proses tawar menawar tentang lokasi kawasan dan ketentuan ketentuan pengaturan pengelolaan dan bagi hasil. Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari kegiatan dialog. Dalam negosiasi ini dihasilkan kesepakatan antara pihak masyarakat dan Perum Perhutani.                          

5.  Perjanjian Kerjasama
Perjanjian kerjasama merupakan ketentuan yang mengikat pihak MDH dan Perum Perhutani secara tertulis dan berkekuatan hukum. Perjanjian kerjasama ini merupakan naskah tertulis dan berkekuatan hukum tentang hasil negosiasi. Penandatanganan naskah ini dihadiri oleh masyarakat (pemimpin nonformal, pengurus KTH), Perum Perhutani dan Pemerintah Desa serta LSM Pendamping disaksikan oleh pejabat notaris.
6.  Pelaksanaan
Pelaksanaan PHBM dilakukan dengan proses penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanfaatan hasil, peliharaan keamanan, dan monitoring evaluasi. Pelaksanaan PHBM ini dilakukan oleh masyarakat dan Perum Perhutani sesuai hak dan kewajiban dalam naskah perjanjian. Dalam pelaksanaan ini masyarakat sebagai pelaksana dan Perum Perhutani sebagai regulator. Namun demikian, dalam pelaksanaannya masyarakat belum sepenuhnya dapat memerankan sebagai operator, penanaman tanaman pokok masih dilakukan bersama dengan mandor.

C.  Teknis, Sasaran, dan Ruang Lingkup PHBM
Dilaksanakan di dalam atau di luar kawasan hutan, salah satu bentuk PHBM yang dilaksanakan dalam kawasan hutan adalah hutan desa. Hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum di bebani ijin/hak. Hutan Negara yang dapat dijadikan areal kerja hutan desa adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi.
          Ruang lingkup kegiatan PHBM dalam kawasan hutan meliputi pengembangan agroforestri dengan pola bisnis. Pengamanan hutan melalui pola berbagi hak, kewajiban dan tanggung jawab. Tambang galian, Wisata, Pengembangan flora dan fauna serta pemanfaatan sumber air. Sedangkan ruang lingkup PHBM di luar kawasan hutan meliputi :
a.    Pembinaan mayarakat desa hutan
b.   Pemberdayaan kelembagaan kelompok tani hutan
c.    Pemberdayaan kelembagaan desa
d.    Pengembangan ekonomi kerakyatan
e.    Perbaikan biofisik desa hutan
f.    Pengembangan hutan rakyat
g.   Bantuan sarana dan prasarana desa hutan
Program pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini telah diawali oleh berbagai kegiatan sebelumnya yaitu Program Perhutanan Sosial, Agroforestry, Sylvofishery, PMDH (Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan), PMDH-T (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu). Implementasi program dilaksanakan pada kegiatan tumpangsari, insus tumpangsari, penanaman di bawah tegakan, perhutanan sosial, pembangunan sarana dan prasarana. Kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat ini berkembang dan mengalami penyempurnaan menyesuaikan perkembangan kondisi kawasan dan masyarakat desa hutan (MDH) sehingga saat ini dilakukan dengan pendekatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan sistem PHBM.
Pelaksanaan PHBM dilakukan dengan proses penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanfaatan hasil, peliharaan keamanan, dan monitoring evaluasi. Pelaksanaan PHBM ini dilakukan oleh masyarakat dan Perum Perhutani sesuai hak dan kewajiban dalam naskah perjanjian. Dalam pelaksanaan ini masyarakat sebagai pelaksana dan Perum Perhutani sebagai regulator. Namun demikian, dalam pelaksanaannya masyarakat belum sepenuhnya dapat memerankan sebagai operator, penanaman tanaman pokok masih dilakukan bersama dengan mandor.
Program PHBM ini disosialisasikan oleh tim PHBM yang terdiri dari bagian pembinaan masyarakat desa hutan KPH, KBKPH, KRPH, dan mandor. Ujung tombak utama pelaksanaan PHBM di lapangan adalah para mandor. Para mandor ini pada umumnya mempunyai pendidikan rendah. Para mandor adalah anggota masyarakat desa sekitar hutan yang semula merupakan tenaga upahan harian baik pada kegiatan persemaian, penanaman, pemeliharaan, dan penebangan. karena pengabdiannya, mereka diangkat menjadi mandor, sebagai pegawai perusahaan. Sosialisasi tentang PHBM ini terus menerus dilakukan baik kepada masyarakat maupun jajaran Perum Perhutani melalui berbagai kegiatan pelatihan dan pembinaan di forum resmi dan forum tidak resmi.
Dalam pelaksanaan kegiatan PHBM, dimulai dari penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan penjarangan, tebangan, dan keamanan hutan. Perum Perhutani menentukan pola tanam, pemeliharaan tanaman, penjarangan, dan penebangan. Ketentuan Penanaman adalah sebagai berikut :
a.   Tanaman pokok
b.   Tanaman pengisi
c.    Tanaman pertanian seperti palawija (padi huma, ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah).
Jarak tanaman pokok dan pengisi 3 x 2 m, dengan tanaman pertanian berjarak 25 cm dari tanaman pokok. Kerjasama ini dituangkan dalam bentuk naskah kerja sama yang ditindaklanjuti dengan perjanjian kerjasama. Kerjasama ini ditinjau dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun. Kerjasama dapat dilanjutkan apabila tanaman kehutanan yang tumbuh lebih dari 80%. Apabila kurang dari 80% akan diberikan teguran sampai dengan konsekuensi batalnya perjanjian kerja sama.

D. Ketentuan Berbagi dan Hak-Kewajiban Dalam PHBM
Sistem berbagi dalam PHBM berdasarkan kontribusi yang diberikan oleh masing-masing pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumber daya hutan. Besarnya nilai berbagi akan diterima oleh masing-masing pihak yang berkepentingan dihitung secra proporsional menurut kontribusinya. Ketenutan berbagi dituangkan dalam suatu perjanjian PHBM.
Masyarakat Desa hutan berhak untuk bersama dengan PT. Perhutani (Persero) dan pihak yang berkepentingan menyusun rencana, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PHBM. Memperoleh manfaat dari hasil kegiatan sesuai dengan nilai dan proporsi faktor produksi yang dikontribusikannya. Adapun kewajiban dari masyarakat desa hutan adalah bersama dengan PT. Perhutani (Persero) dan pihak yang berkepentingan melindungi, menjaga, dan melestarikan sumber daya hutan untuk keberlanjutan fungsi dan manfaatnya. Memberikan kontribusi faktor produksi sesuai dengan kemampuannya.
PT. Perhutani (Persero) berhak untuk bersama masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan menyusun rencana, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PHBM. Memperoleh manfaat dari hasil kegiatan sesuai dengan nilai dan proporsi faktor produksi yang dikontribusikannya. Memperoleh dukungan masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan dalam perlindungan sumber daya hutan untuk keberlenjutan fungsi dan manfaatnya.     PT. Perhutani (Persero) berkewjiban untuk memfasilitasi dalam proses penyusunan rencana, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi PHBM. Memberikan kontribusi faktor produksi sesuai dengan rencana. Mempersiapkan sistem, kultur dan budaya perusahaan yang kondusif. Bekerjasama dengan masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan dalam rangka mendorong proses optimalisasi dan berkembangnya kegiatan.
Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota berhak untuk memperoleh Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH) sesuai ketentuan yang berlaku. Memperoleh manfaat dari hasil kegiatan baik berupa kayu maupun non kayu (dalam bentuk uang) sesuai dengan kontribusi yang diberikan dalam kegiatan PHBM. Adapun kewajibann Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota adalah membmbing dan memberdayakan masyarakat desa hutan, mengamankan sumber daya hutan, memfasilitasi kegiatan PHBM serta mendorong proses optimalisasi dan berkembangnya kegiatan.
Untuk mendukung keberhasilan semua program kegiatan PHBM disetiap desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi dibentuk suatu forum komunikasi PHBM yang bertugas memberikan masukan dalam proses penyusunan rencana, melaksanakan pemantauan dan evaluasi, membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan serta menyampaikan laporan hasil kegiatan kepada forum komunikasi tingkat diatasnya. Untuk itu disetiap tingkatan dibentuk kesekretariatan tetap atau kelompok kerja.

E.  Hasil-Hasil PHBM
Sejak diberlakukannya PHBM, gangguan keamanan hutan berkurang. Hal ini disebabkan karena kerusakan tegakan jati menyebabkan menurunnya jumlah sharing yang akan didapat masyarakat desa hutan. Secara sadar, masyarakat ikut serta dalam rangka menjaga keamanan hutan membentuk Pam-swakarsa. Hasil lainnya adalah masyarakat mempunyai kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dengan lebih baik. Hal ini merupakan imbas dari diberikannya kebebasan kepada mereka dalam mengelola hutan sesuai dengan keinginannya masing-masing. Namun demikian tentunya sejauh tidak merusak tegakan pokok.
PHBM ternyata tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat desa hutan. Dalam pelaksanaannya, PHBM merupakan kegiatan multi program. Perhutani sering bekerjasama dengan dinas kehutanan (Dishut) kabupaten/kota atau dengan pemerintah pusat. Dishut sangat terbantu dengan adanya informasi desa yang akan dijadikan lokasi kegiatan proyek. Selain itu, kebutuhan-kebutuhan mendasar desa yang menjadi wilayahnya dapat diperoleh informasinya dengan cepat.
Luas hutan yang dikerjasamakan menjadi hutan pangkuan desa mencapai 2.250.172 Ha melibatkan lebih kurang 5.456.986 KK tergabung dalam 5.237 Lembaga Masyarakat Desa Hutan dan 746 Koperasi Desa Hutan. Program PHBM menurut masyarakat telah memberikan manfaat berupa:
1.    Penyerapan tenaga kerja desa hutan mencapai 5 juta orang pertahun sampai tahun 2010.
2.    Memberi kesempatan berusaha di sektor industri (216 unit usaha); perdagangan (236 unit usaha); pertanian (1746 unit usaha); peternakan (308 unit usaha); perkebunan (404 unit usaha); perikanan (163 unit usaha); jasa (724 unit usaha).
3.    Bagi hasil dari produksi hutan berupa kayu dan non kayu. Realiasi nilai bagi hasil produksi dari tahun 2005 sampai dengan Agustus 2010 nilai bagi hasil produksi kayu dan non kayu yang diterima LMDH adalah Rp. 160,279 milyar.
4.   Pendapatan dari produksi tanaman pangan seperti padi, jagung, kacang-kacangan kegiatan tumpangsari di lahan hutan mencapai Rp. 4.979.455.721,- atau rata-rata Rp. 1 milyar per tahun.

F.  Hambatan dan Kelemahan
Hambatan dan kelemahan dalam kegiatan PHBM ini merupakan hal-hal yang secara langsung berkaitan dengan tujuan yang belum dapat terlaksanakan. Sedangkan solusi yang kemudian dihimpun merupakan kajian bebas dari berbagai pihak dan pendapat yang di sampaikan untuk mendapatkan hasil yang di inginkan. Hambatan dan kelemahan tersebut diantaranya yang sering terjadi di lapangan adalah:
a.          Akses yang sulit dan jarak lokasi program PHBM yang jauh, sehingga biaya dan waktu yang diperlukan cukup besar.
b.         Terbatasnya SDM dan kemampuan tim utnuk dapat mencapai target hasil dan target jangka waktu untuk dapat menyelesaikan program PHBM ini.
c.          Kurang tersedianya data skunder yang digunakan untuk melengkapi informasi saat perencanaan kegiatan. Data yang sulit di dapat tersebut berkaitan dengan keterbatasan data yang dimiliki oleh tim, lembaga yang bersangkutan, informasi yang terbatas dari masyarakat dan data yang secara langsung melalui survey tim.
d.         Terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh tim dan pihak yang ikut berpartisipasi untuk peningkatan hasil dari program.
e.          Terbatasnya waktu pelaksanaan untuk dapat melanjutkan program ke arah yang lebih jauh lagi.

G.   Kritik terhadap Program PHBM
Sebagai kebijakan yang generik, pelaksanaan PHBM di lapangan masih banyak kekurangan dan belum bisa mencapai tujuan program yang diharapkan. Berbagai kritik dan tanggapan disampaikan sehubungan dengan munculnya berbagai permasalahan yang terjadi di dalam pelaksanaan. Permasalahan yang terjadi di satu wilayah dengan wilayah lain tidak sama bergantung masalah yang spesifik di lokasi masing-masing. Pembentukan LMDH proses atau tahapannya dilaksanakan secara cepat seperti mengejar target, sehingga menyebabkan kepengurusan LMDH menjadi kurang maksimal. Posisi LMDH yang dibentuk melalui proses jalan pintas atau instan, seringkali tidak secara kuat mewakili kepentingan kelompok akar rumput. Faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan PHBM kurangnya pemahaman masyarakat atas program PHBM karena kurangnya sosialisasi, tanah lahan garapan yang kurang subur yang memerlukan biaya yang cukup besar dalam pengelolaanya tidak sebanding dengan hasil panen yang didapatkan.
Program PHBM yang sifatnya one size fits all (satu model untuk semua LMDH ) tidak sepenuhnya dapat berjalan di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa. Pembentukan LMDH yang instan seringkali tidak memperhatikan tata aturan dan tata kelola pemerintah. Di satu sisi ingin melakukan pemberdayaan masyarakat tetapi caranya bertolak belakang seperti Perhutani memaksakan “pakem” PHBM kepada LMDH walaupun tidak disetujui. Jadi idenya pemberdayaan LMDH tetapi caranya instruktif. Ketika LMDH menjadi satu-satunya lembaga yang diakui secara sah untuk melakukan kerjasama dengan Perhutani dalam PHBM kendala yang dihadapi adalah rendahnya tingkat kinerja dan tak jelasnya orientasi kerja para pengurusnya. Isu-isu strategis yang sebenarnya menjadi agenda kalangan akar rumput seperti persentase bagi hasil, perluasan lahan garapan, dan kepastian tenurial, seringkali menjadi terkesampingkan, atau setidaknya bukan menjadi prioritas, hanya mengejar target.
Karena mengejar target, pembentukan LMDH belum dapat mewakili kepemimpinan lokal yang sebenarnya. Banyak pemimpin lokal yang berpengaruh kuat terhadap masyarakat tidak terakomodasi. Kepengurusan LMDH sebagian besar tidak cukup mengakar. Setelah terbentuk LMDH tidak langsung dapat beroperasi dengan baik. Kebanyakan manajemen kelembagaan LMDH belum berjalan dengan baik. Tanggung jawab untuk mengamankan hutan ternyata tidak diimbangi dengan imbalan (ekonomi) yang cukup, sehingga mereka tetap hidup dalam kemiskinan. Peran LMDH yang cenderung menjadi lembaga distribusi daripada lembaga negosiasi adalah fakta yang banyak kita jumpai di lapangan.
Permasalahan terkait dengan organisasi dan manajemen LMDH. Kemampuan kelembagaan LMDH masih rendah, Koordinasi antara LMDH dengan Perhutani dan pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten masih lemah. Pengurus LMDH cenderung pasif, intervensi pihak luar dirasakan oleh pengurus, ketergantungan pada perhutani sangat tinggi. Belum ada kepastian batas pangkuan LMDH yang jelas akibatnya terjadi perebutan wilayah pangkuan hutan. Program PHBM masih dipersepsikan sebagai alat pengamanan hutan bersama masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi secara keseluruhan terhadap program PHBM ini, baik internal oleh Perum Perhutani maupun secara eksternal masyarakat agar ada persamaan pandangan tentang pelaksanaan PHBM sampai dengan tingkat desa dan kelompok masyarakat. LMDH yang mandiri merupakan “kunci strategis” bagi upaya keberlangsungan penanggulangan kemiskinan dan pembangunan.
H.Studi Kasus: Perhutani Meninggalkan LMDH
Dalam Keputusan Direksi Perhutani nomor 682 tahun 2009 tentang PHBM, Perhutani memunculkan Koperasi Masyarakat Desa Hutan dalam pasal 1 (ayat 6) dan pasal 7 (ayat 6 & 7). Fakta di lapangan, separoh desa hutan di KPH Pati sudah membentuk koperasi namun sampai sekarang belum berjalan lantaran tidak ada pendampingan maupun bantuan modal dari Perhutani. Sementara itu, di KPH Mantingan LMDH membiayai sendiri pengurusan akta notaris koperasi yang menghabiskan hampir dua juta rupiah. Perhutani juga membentuk Kelompok tani hutan rakyat di banyak desa hutan. Pejabat Perhutani secara jujur menyampaikan kepada pengurus LMDH bahwa pengembangan hutan rakyat di luar kawasan hutan murni untuk menambah pendapatan Perhutani. Pada akhir Februari 2012, telah di deklarasikan Asosiasi Kelompok Tani Hutan Rakyat Indonesia atau AKATRI di Bandungan Jawa Tengah.
Keluhan para pengurus LMDH, dengan dibentuknya Koperasi masyarakat desa hutan serta pembentukan kelompok tani hutan rakyat justru menimbulkan kerancuan kelembagaan dalam LMDH. Hal tersebut berimplikasi pada tidak seriusnya Perhutani terhadap keberlangsungan PHBM serta kemitraannya dengan LMDH. Proporsi kegiatan serta anggaran yang semula di optimalkan untuk koordinasi dan kemitraan dengan LMDH, saat ini malah lebih digunakan untuk biaya mendirikan koperasi dan kelompok tani hutan rakyat di berbagai tempat.
Sementara itu, di berbagai tempat LMDH tidak dilibatkan dalam kegiatan usaha di kawasan hutan yang melibatkan investor. Di KPH Kebonharjo, ada investor yang menanam tanaman ketela berhektar-hektar di hutan tanpa sepengetahuan LMDH. Di KPH Banyumas Timur banyak obyek wisata di kawasan hutan dikelola oleh investor tanpa melibatkan LMDH setempat. Beberapa temuan lapangan tersebut, tidak bersesuaian dengan berbagai pasal yang ada di dalam SK PHBM nomor 682 tahun 2009.
Beberapa kritik atas berbagai pasal dalam SK PHBM tersebut juga disampaikan oleh para peserta diskusi. Antara lain: Pertama, definisi Desa Hutan dalam pasal 1 ayat 3 dinilai memisahkan desa dengan hutan pangkuannya. Padahal semua hutan sudah terbagi habis dalam wilayah desa. Kedua, menghilangkan klausul tentang klasifikasi LMDH pemula,muda,  madya, dan mandiri. Klausul ini tidak jelas indikatornya serta cenderung mengarah pada absennya Perhutani dalam keberlangsungan LMDH dan PHBM di kemudian hari.
Ketiga, perlu diatur juga tentang Paguyuban LMDH sebagai bagian dari stakeholders yang terlibat dalam perumusan kebijakan dan implementasi PHBM. Keempat, klausul kelola sosial dinilai sebagai ketentuan yang mengada-ada dalam SK PHBM. Klausul tersebut dinilai hanya dicantumkan untuk mendukung Perhutani yang saat ini tengah mengejar sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari. Kelima, perlu diatur juga mekanisme evaluasi dari LMDH atas kinerja Perhutani. Selama ini, evaluasi hanya dilakukan Perhutani dan LSM terhadap LMDH saja.
Dalam Keputusan Direksi Perhutani nomor 436 tahun 2011 tentang Bagi Hasil Hutan Kayu terdapat beberapa kritik dan saran yang disampaikan oleh pada pengurus LMDH antara lain sebagai berikut:
Pertama, tentang Faktor Produksi. Selama ini LMDH tidak pernah diajak berembug tentang besaran nilai dan faktor produksi. Seharusnya penetapan besaran nilai dan faktor produksi dilakukan melalui proses perumusan bersama antara Perhutani dan LMDH.
Kedua, tentang Faktor Koreksi. Penetapan faktor koreksi tidak dilakukan secara transparan dan partisipatif dengan melibatkan LMDH. Para pengurus LMDH tidak sepakat adanya faktor koreksi dalam bagi hasil hutan kayu. Kalaupun ada kebutuhan untuk memasukkan faktor koreksi, maka nilai faktor koreksi harusnya ditetapkan bersama-sama oleh Perhutani dan LMDH melalui proses yang partisipatif dan transparan. Jikalau ada faktor koreksi bentuk punishment atas kinerja LMDH, maka seharusnya juga ada Faktor Bonus untuk LMDH sebagai bentuk dari reward atas kinerja LMDH.
Ketiga, tentang Hasil Hutan Kayu. Dalam SK ini, hasil hutan kayu yang menjadi obyek berbagi adalah kayu perkakas dan kayu bakar dari kawasan hutan produksi yang dikelola melalui proses Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Pertanyaan yang diajukan LMDH adalah bagaimana dengan hasil kayu dari kawasan selain hutan produksi? Harusnya semua kawasan hutan dikelola melalui proses PHBM. Harus ada sharing di kawasan lindung. Kayu-kayu berikut ini harusnya menjadi obyek berbagi antara lain:
(i) Rencek, tonggak, limbah tebangan; (ii) Hasil kayu karena bencana alam; (iii) Kayu yang rusak karena terserang hama/penyakit; (iv) Barang bukti; (v) Kayu puruk yaitu pohon diluar tanaman pokok; (vi) Hasil tebangan yang tidak direncanakan. Rencana tebang harus melibatkan LMDH.
Keempat, tentang Bentuk Sharing. Selama ini sharing untuk LMDH diberikan dalam bentuk uang tunai. LMDH mengusulkan pemberian sharing hasil hutan kayu dalam bentuk kayu. Alasanya, sharing dalam bentuk uang cenderung merugikan LMDH lantaran di dasarkan pada harga jual dasar Perhutani. Selain itu, pemberian sharing yang selama ini dilakukan dengan seremonial besar-besaran cenderung pemborosan. Jika harus dilakukan dengan seremonial, seharusnya pembiayaannya tidak diambilkan dari dana sharing milik LMDH.
Kelima, tentang Alokasi Pemanfaatan Sharing. Alokasi pemanfaatan sharing yang diterima LMDH seharunya merupakan hak otonom dari LMDH, tidak perlu di tentukan oleh Perhutani.
Keenam, tentang Penyelesaian Sengketa. Dalam proses penyelesaian sengketa, jika proses musyawarah dan mufakat tidak tercapai, sebelum diselesaikan melalui pengadilan, seharusnya ada proses mediasi dengan Paguyuban LMD dan FK PHBM sebagai mediator. Beberapa catatan yang lain juga terumuskan antara lain: (a) Belum ada pedoman tentang berbagi hasil non kayu, usaha produksi, dan wisata; (b), Tarif upah ditentukan sepihak oleh Perhutani. Harusnya LMDH dilibatkan.

I.   Upaya Mengatasi Permasalahan Dalam Pelaksanaan PHBM
·         Bidang Organisasi
1.    Untuk percepatan implementasi PHBM perlu petugas khusus (Perhutani) di setiap BKPH yang tidak merangkap pekerjaan lainnya.
2.    Dalam kepengurusan LMDH harus melibatkan seluruh elemen masyarakat.
3.    Meningkatkan hubungan/komunikasi antara para pihak (Perhutani, LMDH, Pemda dan Pihak yang berkepentingan)
4.   Sosialisasi dan pelatihan terus dilaksanakan dalam rangka peningkatan SDM (Perhutani, LMDH dan Pemda)
5.    Menyusun, memonitoring dan mengevaluasi program kegiatan
6.   Penjajagan kebutuhan masyarakat (Community Need Assesment)
  1. Teknik-tehnik pemecahan masalah (problem solving)
  2. LMDH harus menjadi “lembaga masyarakat” yang mengakar sehingga tidak menjadi milik Perum Perhutani.
·         Bidang Usaha
1.    Kemudahan / penyederhanaan prosedur dalam kerjasama kegiatan PHBM sehingga LMDH tidak selalu terbentur oleh persaratan  birokrasi atau administrasi.
2.    Keterbatasan modal LMDH menjadi kendala utama dalam pelaksanaan program.
3.    Perlu dukungan Pemda dalam pembinaan Usaha Tani didalam kawasan hutan melalui Dinas terkait yang ada.
4.   Mengelola keuangan dengan baik.
·         Bidang Pengelolaan SDH
1.    Bidang Keamanan hutan : kesamaan persepsi bahwa keamanan hutan adalah tanggung jawab bersama antar pihak (tidak terpisah-pisah) serta penempatan petugas Perhutani agar disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat
2.    Semua harus pihak mendukung program KPH hijau dan asri.



PENUTUP

Kesimpulan
1.      PHBM merupakan program pengelolaan hutan yang dinilai bisa memberikan kontribusi positif keapada masyarakat sekitar hutan.
2.      Pola PHBM bisa dijadikan salah satu alternatif model pengelolaan hutan di setiap diklat di Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan.
3.      Implementasi PHBM  meliputi sosialisasi, dialog, kelembagaan/pembentukan KTH, negosiasi, perjanjian bersama, dan kelembagaan.
4.      Sasaran program PHBM adalah pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dan atau masyarakat yang berkepentingan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi, ekologi, dan sosial secara proporsional yang tujuannya untuk kesejahteraan hidup.
5.      Hasil program PHBM telah memberikan penyerapan tenaga kerja desa hutan, memberikan kesempatan berusaha di sektor industry, bagi hasil produksi hasil hutan kayu dan non kayu, dan memberikan pendapatan produksi tanaman.
6.      Program PHBM plus-plus adalah program yang bukan hanya plus manajemennya tetapi juga plus pihak yang terlibat, plus ide pengelolaannya dan plus juga hasil yang diperolehnya.
Saran
        Penulis memberikan saran agar program PHBM benar-benar dihayati dan dijiwai dengan melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing sehingga hasil program ini ke depannya menjadi lebih baik. Demikian PHBM plus-plus untuk benar-benar diterapkan demi mengembalikan kelestarian hutan kita yang hilang.


DAFTAR PUSTAKA

Arupa. 2012. Ketidakadilan PHBM. Diakses dari: http://www.arupa.com/ketidakadialan-phbm/ Diakses pada: [15 September 2012][10.00 WIB]
Awang S. A. 2006. Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat. Buku Ajar Program Peningkatan Kualitas Pembelajaran dan Penjaminan Mutu. Fakultas Kehutanan, UGM.
CIFOR. 2003. Perhutanan Sosial. Menuju kesejahteraan dalam Masyarakat Hutan.          http://www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/Books/BAlbornoz0701Ia          pdf. [16 September 2012] [17.00 WIB]
Dephut. 2006. Promosi Hasil Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (CBFM). www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/2629. [16 September 2012]  [15.00 WIB]
Prambudianto. 2007. Rancangan Program Penguatan Kapasitas LMDH Dan Peningkatan Efektivitas PHBM. IPB. Bogor
Tani, G. 2011. Paguyuban LMDH. Diakses dari: http://www.gardutani.com/paguyuban-lmdh/ Diakses pada: [15 September 2012][10.30 WIB]
Tenure W G. 2007. Kajian dan Opini Apa kata mereka tentang:“Hak dan Akses Masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan Sumberdaya Hutan”. Jakarta
Widayanti. 2005. Model-Model Hutan Kemasyarakatan dan Kritik PHBM. IPB. Bogor







4 komentar: