PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Hutan
merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sebagian besar
rakyat Indonesia, karena hutan memberikan sumber kehidupan bagi kita semua.
Hutan menghasilkan air dan oksigen sebagai komponen yang sangat diperlukan bagi
kehidupan umat manusia. Demikian juga dengan hasil hutan lainnya memberikan
berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat.
Pengelolaan
hutan bagi kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang perlu menjadi perhatian
bersama, baik oleh pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha. Pemanfaatan nilai
ekonomis hutan harus seimbang dengan upaya pelestarian lingkungan hidup
sehingga hutan tetap dapat dimanfaatkan secara adil dan berkelanjutan. Pengelolaan
hutan lestari (khususnya jati) di Pulau Jawa sudah berkembang sejak jaman
penjajahan Belanda. Setelah itu diteruskan oleh pemerintah RI melalui
Perhutani.
Pulau
Jawa memiliki luasan hanya 6% dari luas wilayah Indonesia, tetapi 60% dari
jumlah penduduk Indonesia tinggal di Jawa. Perum Perhutani sebagai BUMN yang
diberi mandat untuk mengelola hutan negara dituntut untuk memberikan perhatian
yang besar kepada masalah sosial ekonomi masyarakat, terutama masyarakat pedesaan
yang sebagian besar tinggal di sekitar hutan. Interaksi antara masyarakat
dengan hutan tidak mungkin dapat dipisahkan. Oleh karena itu, pendekatan yang
dilakukan dalam pengelolaan hutan harus memperhatikan keberlanjutan ekosistem
hutan dan peduli dengan masyarakat miskin di sekitar hutan.
Realitas
yang terjadi saat ini kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya hutan
belum menyentuh sama sekali kepentingan masyarakat dalam menjamin kesejahteraan
dan perlindungan bagi pemanfaatan secara berkelanjutan. Kesejahteraan
masyarakat yang dimaksud dapat diukur dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat
di suatu wilayah.
Salah
satu contoh bahwa kebijakan pemerintah belum mampu menyentuh dalam pengelolaan
hutan adalah masih terdapatnya konflik antar Sektor Kehutanan. Konflik tersebut
terjadi antara pihak masyarakat dan pihak Perhutani. Konflik ini berawal dari
keinginan masyarakat untuk menumpahkan ketidakpercayaan kepada pemerintah,
khususnya kepada aparat penjaga hutan, akibat manipulasi yang dilakukannya
dengan para pemodal. Keterlibatan para pemodal yang sebagian besar berperan
sebagai penadah itu, dilihat oleh masyarakat dari dua sisi.
Pertama,
mereka semakin menyadari bahwa kegiatan kehutanan dapat menghasilkan pendapatan
yang cukup besar dibandingkan dengan kegiatan masyarakat selama ini yang hanya
terlibat dalam skala kecil, misalnya upah tanam, hasil tumpangsari, upah
tebangan dan upah dari berbagai kegiatan lain. Kedua, masyarakat menyadari
bahwa kegiatan kehutanan melibatkan begitu banyak pemain yang sebagian besar
melanggar hukum. Kejadian-kejadian tentang keterlibatan oknum Perhutani, oknum
militer, pemilik modal, dan pihak-pihak lain dalam jaringan gelap tata usaha
kayu, saat ini menjadi terbuka ketika warga juga terlibat di dalamnya. Konflik
terbuka antara masyarakat dan Perhutani dipicu ketika petugas Perhutani
melakukan tindakan represif terhadap pencurian kayu, yang menyebabkan dua orang
warga masyarakat tertembak pada pertengahan 1998.
Aksi
penjarahan dan perambahan hutan tersebut sangat merugikan baik dari segi
ekonomi, ekologi, sosial dan budaya. Untuk memperbaiki kondisi di kawasan hutan
dan sejalan dengan terjadinya reformasi di bidang kehutanan, Perhutani menerapkan
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dengan biaya ditanggung Perhutani
sejak ditetapkannya kebijakan PHBM tahun 2001. Sistem PHBM ini dilaksanakan
dengan jiwa bersama, berdaya, dan berbagi yang meliputi pemanfaatan lahan/ruang,
waktu, dan hasil dalam pengelolaan sumberdaya hutan dengan prinsip saling
menguntungkan, memperkuat dan mendukung serta kesadaran akan tanggung jawab
sosial. Program PHBM diyakini menjadi salah satu terobosan Perhutani agar
kejadian penjarahan tidak terulang kembali karena program ini menerapkan konsep
bagi hasil. Program ini juga dinilai telah menggeser paradigma pengelolaan
hutan yang berbasis hasil kayu ke pengelolaan yang berbasis sumberdaya yang
mengedepankan pengelolaan sumberdaya hutan partisipatif dan dilakukan bersama
masyarakat atau kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan terhadap
kelestarian sumberdaya hutan.
Tujuan Penulisan
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk:
1.
Mendeskripsikan
status keberlanjutan pengelolaan hutan bersama masyarakat yang dianalisis dari aspek
ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan.
2. Meningkatkan
kompetensi mahasiswa kehutanan melalui program pembelajaran dalam
memanfaatkan produk hasil hutan untuk menunjang kesejahteraan masyarakat.
3. Meningkatkan
peran serta mahasiswa dan respon masyarakat terhadap perubahan global dan
lingkungan dalam mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan.
4. Memperkuat
solidaritas antar masyarakat, mengetahui perkembangan-perkembangan yang terjadi
pada tingkat lokal dan memunculkan alternatif pengelolaan SDH berdasarkan
pengetahuan dan kebiasaan masyarakat melalui Program Pembelajaran Pengelolaan
Hutan Bersama Masyarakat.
5. Mendukung
pengelolaan hutan berbasiskan pengetahuan dan kebudayaan masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraan dengan jaminan kelestarian hutan dan keanekaragaman
hayati.
PERMASALAHAN
PHBM
diawali dengan SK Direksi No. 136/KPTS/Dir/2001 tanggal 29 Maret 2001 tentang Pengelolaan
Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Ketentuan ini dikuatkan dengan SK Gubernur
Jawa Tengah No. 24 Tahun 2001 tanggal 26 September 2001 tentang Pengelolaan
Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat dan SK Direksi PT Perhutani (Persero) No.
001/KPTS/Dir/2002 tanggal 2 Januari 2002 tentang Pedoman Berbagi Hasil Hutan
Kayu. Sejak itu PHBM ditetapkan sebagai sistem pengelolaan hutan yang ideal.
Pelaksanaan
PHBM yang diterapkan menemui beberapa kendala yang pada akhirnya menghambat
kurang lancarnya pelaksanaan PHBM. Pada awal pelaksanaan program, masyarakat
belum sepenuhnya percaya kepada pihak Perhutani. Selain itu kendala muncul
karena sering terjadi adanya oknum masyarakat yang mempunyai kepentingan
pribadi melakukan provokasi, sehingga pelaksanaan PHBM agak tersendat. Kendala
pada sumberdaya manusia juga terjadi, yaitu pada SDM pihak internal Perhutani
di tingkat bawah yang pemahaman tentang program PHBM belum komprehensif.
Proses penerapan PHBM tentu tidak lepas dari
kendala dan hambatan baik dari internal maupun eksternal. Kendala dan hambatan
yang dalam penerapan PHBM yang masih dirasakan masyarakat adalah masyarakat
kurang memahami akan penerapan kebijakan PHBM. Tingkat pemahaman yang kurang
menyebabkan terjadinya kesalahan dalam meginterpretasikan kebijakan PHBM di
lapangan. Adanya pemahaman yang berbeda dalam masyarakat akan berakibat kurang
berhasilnya tujuan dari PHBM dan kurang optimalnya hasil kegiatan PHBM. Masalah
lain yang masih dirasakan oleh banyak pihak dari unsur yang terkait dengan PHBM
adalah masalah alokasi dana bagi hasil (sharing) 25% untuk LMDH yang tercantum
dalam kebijakan PHBM. Kurang sesuainya kebijakan mengenai alokasi dana dalam
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan berdampak pada hasil
pelaksanaaan PHBM yang kurang optimal.
PEMBAHASAN
A. Sejarah,
Prinsip, Perkembangan dan Tujuan Terbentuknya PHBM
Hutan adalah lumbung kehidupan. Karena
di dalam hutan terdapat milyaran sumber kehidupan. Hutan-hutan tersebut telah
berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman, perkebunan, sawah dan ladang. Tidak
sedikit diantaranya menjadi lahan kritis yang rawan dengan longsor dan banjir
setelah pembukaan hutan. Kerawanan lahan ini pada umumnya disebabkan oleh
tingkat kemiringan lahan yang tidak sesuai dengan prosedur. Pemanfaatan lahan
yang tidak memperhatikan struktur tanah serta kemiringan tersebut juga
merupakan salah satu penyebabnya.
Program PHBM lahir diyakini menjadi
salah satu terobosan Perhutani agar paradigma pengelolaan hutan yang berbasis
hasil kayu mengarah kepada pengelolaan yang berbasis sumberdaya yang
mengedepankan pengelolaan sumberdaya hutan partisipatif dan dilakukan bersama
masyarakat atau kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan terhadap
kelestarian sumberdaya hutan. Kegiatan PHBM dimaksudkan untuk memberikan
arah pengelolan sumber daya hutan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi,
ekologi, dan sosial secara proporsional. Adapun tujuannya adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup, kemampuan dan kapasitas ekonomi dan
social masyarakat. Meningkatkan peran dan tanggung jawab PT. Perhutani (Persero),
masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentinga terhadap pengelolaan
sumberdaya hutan. Meningkatkan mutu sumber daya hutan, produktivitas dan
keamanan hutan. Menciptakan lapangn kerja, meningkatkan kesempatan berusaha dan
meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
(PHBM) lahir dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya
hutan yang optimal dan peningkatan IPM yang bersifat fleksibel, partisipatif
dan akomodatif.
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
(PHBM) sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Keragaman masyarakat, kondisi
geografis serta melalui proses panjang pengalaman empirik telah mendorong
masyarakat membangun cara dan aturan (adat) yang khas khususnya dalam
pengelolaan hutan. Hal tersebut juga menunjukkan hubungan yang khas antara
masyarakat dan alam lingkungannya baik secara jasmani maupun rohani. Sejarah
terbentuknya PHBM diwarnai oleh:
1.
Kebijakan pemerintah
2.
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah
3.
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
4. Permasalahan
dari UU otonomi daerah
Melalui PHBM Perhutani bekerjasama dengan masyarakat desa
hutan dan pihak-pihak lainnya melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan bersama.
Kegiatan telah berlangsung sejak tahun 2001, sebagai keberlanjutan dari program
program sosial perusahaan sejak dicanangkannya kebijakan Forest for People
tahun 1978 di Indonesia. Tidak kurang dari 5.403 desa hutan di pulau Jawa dan
Madura berada di sekitar kawasan hutan Perhutani. Sejak tahun 2005 sampai tahun
2010, Perhutani tercatat 5.054 desa hutan atau sekitar 94% dari total desa
hutan di Pulau Jawa dan Madura bekerjasama melalui program PHBM.
PHBM dilaksanakan dengan
prinsip-prinsip :
a.
Perubahan pola pikir pada semua jajaran Perhutani dari birokratis,
sentralistik, kaku dan ditakuti menjadi fasilitator, fleksibel, akomodatif dan
dicintai.
b.
Perencanaan partisipatif dan fleksibel sesuai dengan karakteristik
wilayah.
c.
Fleksibel, akomodatif, partisipatif, dan kesadaran akan tanggung
jawab sosial.
d.
Keterbukaan, kebersamaan, saling memahami, dan pembelajaran
bersama.
e.
Bersinergi dan terintegrasi dengan program-program Pemerintah
Daerah.
f.
Pendekatan dan kerjasama kelembagaan dengan hak , kewajiban yang jelas.
g.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan.
h.
Pemberdayaan masyarakat desa hutan secara berkesinambungan.
i.
Mengembangkan dan meningkatkan usaha produktif menuju masyarakat
mandiri dan hutan lestari.
j.
Supervisi, monitoring, evaluasi dan pelaporan bersama para pihak.
Pola PHBM kini perlu ditambah dengan
suatu pola pemikiran baru, dimana pola PHBM tersebut harus menggunakan suatu
perancangan dan pengembangan kawasan hutan yang diarahkan tidak hanya sebagai
konservasi saja, tetapi juga sebagai kawasan produksi dan pengolahan dengan
skala tertentu disektor pertanian-kehutanan dalam arti luas, penelitian, alih
teknologi, ekspose, pendidikan dan latihan serta kerjasama bisnis dengan sektor
swasta maupun masyarakat. Pola itu dapat disebut dengan pola PHBM plus-plus.
Untuk mewujudkan hal tersebut diatas,
tentu saja Instansi yang bergerak disektor kehutanan tidaklah cukup hanya
melakukan kerjasama dengan masyarakat sekitar hutan saja, tetapi juga harus
melakukan sosialisasi dan koordinasi yang pada akhirnya membentuk suatu
kerjasama yang kompleks dengan semua sektor yang berkaitan, seperti Instansi
bidang pengairan, infrastruktur, pendidikan dan pelatihan, pertanian, dan
bidang-bidang lain yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pola PHBM plus-plus perlu dirancang dengan beberapa pendekatan, seperti:
1.
Keterpaduan. Dengan mengintegrasikan beragam usaha
tani-hutan dan industry hulu-hilir dalam suatu usaha tani terpadu bersiklus
biologi.
2.
Pendekatan Niaga. Dengan melakukan pengelolaan seluruh
aktifitas dengan pendekatan bisnis sebagai model pengelolaan hutan lestari
secara mandiri.
3.
Keberlanjutan. Melakukan pendayagunaan sumber daya
alam yang ada secara berkelanjutan untuk menjamin pelestarian lingkungan dan
keberlangsungan program yang telah berjalan
4.
Pemberdayaan Masyarakat. Melakukan pemberdayaan masyarakat
melalui pendidikan, pelatihan, dan pelibatan pada seluruh kegiatan.
5.
Pemanfaatan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi). Memanfaatkan
IPTEK dalam seluruh kegiatan demi peningkatan efisiensi produksi, keragaman dan
kualitas produk serta nilai tambah melalui proses adaptasi, integrasi dan
pengembangan IPTEK.
Salah satu contoh penerapan PHBM plus-plus adalah pada petak
perhutani (petak 89) yang terletak di Desa Salam Mulya, Kecamatan Pondok Salam,
Kabupaten Purwakarta yang pada saat ini telah berubah fungsi menjadi sawah
tadah hujan dan ladang yang dikelola masyarakat.
B. Proses
PHBM
Pada awal mula pencanangan, program PHBM belum banyak
diketahui oleh banyak pihak. PHBM dianggap sama saja dengan program-program
keproyekan dari pemerintah. Hal ini menjadikan munculnya sikap apatis pada
masyarakat desa hutan. Perhutani mencoba bekerjasama dengan LSM local dalam
rangka pendekatan awal dan sosialisasi kegiatan ke masyarakat. LSM bertugas
mengidentifikasi segala macam permasalahan yang muncul, keinginan/ harapan
masyarakat terhadap hutan jati, serta mengetahui karakteristik sosial ekonomi
dan budaya masyarakat desa hutan. Secara bertahap LSM mulai memperkenalkan
PHBM.
LSM memfasilitasi pertemuan antara Perhutani dengan
masyarakat desa hutan. Dalam kesempatan ini, perhutani melakukan sosialisasi
mengenai PHBM kepada masyarakat secara lebih rinci. Setelah sosialisasi dinilai
cukup berhasil, kemudian dibentuklah Lembaga Masyarakat Desa (LMD). LMD adalah
perwakilan masyarakat desa yang berperan sebagai wadah yang bertanggung jawab
dalam pelaksanaan PHBM di desa masing-masing. Pembentukan dan penyusunan
pengurusnya diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. LMD kemudian dibentuk
sebagai badan hukum sebagai atas nama masyarakat dalam rangka melakukan
perjanjian atau kesepakan-kesepakatan dengan perhutani atau pihak lain yang
terkait.
LMD kemudian dibentuk sebagai badan hukum agar dapat
dibuat perjanjian (MoU)
antara masyarakat dengan perhutani mengenai pelaksanaan PHBM. MoU memuat antara lain
mengenai pemaparan tentang PHBM (termasuk istilah yang dipakai dalam MoU), hak dan kewajiban
masing-masing pihak, serta mekanisme penyelesaian sengketa yang mungkin muncul
di antara kedua pihak. Mengenai pembagian hasil (sharing) hasil tebangan, perhutani
menggunakan rumus yang terdapat dalam SK Direksi PT Perhutani (Persero) No.
001/KPTS/Dir/2002 tanggal 2 Januari 2002 tentang Pedoman Berbagi Hasil Hutan
Kayu. LMD berfungsi sebagai eksekutif dalam masyarakat. Dengan demikian perlu
dibentuk lembaga kontrol (fungsi legislatif) berupa Forum PHBM. Forum PHBM
terdapat di desa, kecamatan, dan kabupaten yang masing-masing diketuai oleh
Sekretaris Desa, Sekretaris Kecamatan, dan Assisten bidang Kesra.
Program PHBM secara yuridis tertuang
dalam Surat Keputusan Direktur
Utama
Perum Perhutani Nomor 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Bersama Masyarakat (PHBM). Kegiatan PHBM meliputi beberapa tahap kegiatan
yaitu:
1. Sosialisasi
Tahap
sosialisasi dilakukan sebagai upaya pendekatan kepada masyarakat tentang hutan,
kehutanan, dan penjelasan program-program PHBM kepada masyarakat dan jajaran
petugas Perum Perhutani. Sosialisasi ini dilakukan oleh tim PHBM (beranggotakan
petugas dari KPH, BKPH) maupun TPM (Tenaga Pendamping Masyarakat) yaitu LSM
pendamping. Kegiatan ini memanfaatkan kegiatan rutin desa seperti pengajian,
majelis taklim.
2. Dialog
Dialog
dilaksanakan untuk membicarakan hal-hal yang mengarah pada kerjasama mengelola
hutan antara pihak Perum Perhutani dan masyarakat. Pembicaraan ini bertujuan
untuk menyamakan persepsi tentang pengelolaan PHBM dan mendesain teknis
pelaksanaan PHBM. Dalam tahap ini terjadi proses tawar menawar pendahuluan
dalam pelaksanaan PHBM yang masing-masing berusaha mengakomodasi kebutuhannya
(Perhutani dan masyarakat). Pada tahap dialog ini, masyarakat diwakili oleh
para pemimpin lokal.
3. Kelembagaan/Pembentukan
KTH
Pembentukan kelembagaan adalah
pembentukan organisasi Kelompok Tani Hutan (KTH) sebagai wadah kegiatan
masyarakat desa hutan terkait dengan pengelolaan kawasan hutan. Struktur
organisasi pada prinsipnya terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris,
bendahara, dan seksi keamanan. Pengurus biasanya adalah orang-orang yang
dipandang sebagai tokoh masyarakat (pemimpin nonformal). Organisasi ini
dibentuk disaksikan para pemimpin formal, nonformal baik dari pemerintah desa,
Perum Perhutani maupun masyarakat.
4. Negosiasi
Setelah
lembaga dibentuk selanjutnya KTH membentuk AD & ART, menyusun ketentuan-ketentuan
yang merupakan hak dan kewajiban pengurus anggota. Negosiasi merupakan proses
tawar menawar tentang lokasi kawasan dan ketentuan ketentuan pengaturan
pengelolaan dan bagi hasil. Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari kegiatan
dialog. Dalam negosiasi ini dihasilkan kesepakatan antara pihak masyarakat dan Perum
Perhutani.
5. Perjanjian
Kerjasama
Perjanjian
kerjasama merupakan ketentuan yang mengikat pihak MDH dan Perum Perhutani
secara tertulis dan berkekuatan hukum. Perjanjian kerjasama ini merupakan
naskah tertulis dan berkekuatan hukum tentang hasil negosiasi. Penandatanganan
naskah ini dihadiri oleh masyarakat (pemimpin nonformal, pengurus KTH), Perum
Perhutani dan Pemerintah Desa serta LSM Pendamping disaksikan oleh pejabat
notaris.
6. Pelaksanaan
Pelaksanaan
PHBM dilakukan dengan proses penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan,
pemanfaatan hasil, peliharaan keamanan, dan monitoring evaluasi. Pelaksanaan
PHBM ini dilakukan oleh masyarakat dan Perum Perhutani sesuai hak dan kewajiban
dalam naskah perjanjian. Dalam pelaksanaan ini masyarakat sebagai pelaksana dan
Perum Perhutani sebagai regulator. Namun demikian, dalam pelaksanaannya
masyarakat belum sepenuhnya dapat memerankan sebagai operator, penanaman
tanaman pokok masih dilakukan bersama dengan mandor.
C. Teknis,
Sasaran, dan Ruang Lingkup PHBM
Dilaksanakan di dalam atau di luar
kawasan hutan, salah satu bentuk PHBM yang dilaksanakan dalam kawasan hutan
adalah hutan desa. Hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum di bebani ijin/hak. Hutan
Negara yang dapat dijadikan areal kerja hutan desa adalah kawasan hutan lindung
dan kawasan hutan produksi.
Ruang lingkup kegiatan PHBM dalam
kawasan hutan meliputi pengembangan agroforestri dengan pola bisnis. Pengamanan
hutan melalui pola berbagi hak, kewajiban dan tanggung jawab. Tambang galian,
Wisata, Pengembangan flora dan fauna serta pemanfaatan sumber air. Sedangkan
ruang lingkup PHBM di luar kawasan hutan meliputi :
a. Pembinaan
mayarakat desa hutan
b. Pemberdayaan
kelembagaan kelompok tani hutan
c. Pemberdayaan
kelembagaan desa
d. Pengembangan
ekonomi kerakyatan
e. Perbaikan
biofisik desa hutan
f. Pengembangan
hutan rakyat
g. Bantuan
sarana dan prasarana desa hutan
Program pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini telah diawali
oleh berbagai kegiatan sebelumnya yaitu Program Perhutanan Sosial,
Agroforestry, Sylvofishery, PMDH (Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan), PMDH-T (Pembangunan
Masyarakat Desa Hutan Terpadu). Implementasi program dilaksanakan pada kegiatan
tumpangsari, insus tumpangsari, penanaman di bawah tegakan, perhutanan sosial,
pembangunan sarana dan prasarana. Kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat
ini berkembang dan mengalami penyempurnaan menyesuaikan perkembangan kondisi
kawasan dan masyarakat desa hutan (MDH) sehingga saat ini dilakukan dengan
pendekatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan sistem PHBM.
Pelaksanaan PHBM dilakukan dengan
proses penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanfaatan hasil, peliharaan
keamanan, dan monitoring evaluasi. Pelaksanaan PHBM ini dilakukan oleh
masyarakat dan Perum Perhutani sesuai hak dan kewajiban dalam naskah
perjanjian. Dalam pelaksanaan ini masyarakat sebagai pelaksana dan Perum
Perhutani sebagai regulator. Namun demikian, dalam pelaksanaannya masyarakat
belum sepenuhnya dapat memerankan sebagai operator, penanaman tanaman pokok masih
dilakukan bersama dengan mandor.
Program PHBM ini disosialisasikan oleh
tim PHBM yang terdiri dari bagian pembinaan masyarakat desa hutan KPH, KBKPH,
KRPH, dan mandor. Ujung tombak utama pelaksanaan PHBM di lapangan adalah para
mandor. Para mandor ini pada umumnya mempunyai pendidikan rendah. Para mandor
adalah anggota masyarakat desa sekitar hutan yang semula merupakan tenaga
upahan harian baik pada kegiatan persemaian, penanaman, pemeliharaan, dan penebangan.
karena pengabdiannya, mereka diangkat menjadi mandor, sebagai pegawai
perusahaan. Sosialisasi tentang PHBM ini terus menerus dilakukan baik kepada
masyarakat maupun jajaran Perum Perhutani melalui berbagai kegiatan pelatihan
dan pembinaan di forum resmi dan forum tidak resmi.
Dalam pelaksanaan kegiatan PHBM,
dimulai dari penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan penjarangan,
tebangan, dan keamanan hutan. Perum Perhutani menentukan pola tanam,
pemeliharaan tanaman, penjarangan, dan penebangan. Ketentuan Penanaman adalah
sebagai berikut :
a.
Tanaman
pokok
b.
Tanaman
pengisi
c.
Tanaman
pertanian seperti palawija (padi huma, ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah).
Jarak tanaman pokok dan pengisi 3 x 2 m, dengan tanaman
pertanian berjarak 25 cm dari tanaman pokok. Kerjasama ini dituangkan dalam
bentuk naskah kerja sama yang ditindaklanjuti dengan perjanjian kerjasama.
Kerjasama ini ditinjau dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun. Kerjasama dapat
dilanjutkan apabila tanaman kehutanan yang tumbuh lebih dari 80%. Apabila
kurang dari 80% akan diberikan teguran sampai dengan konsekuensi batalnya
perjanjian kerja sama.
D. Ketentuan
Berbagi dan Hak-Kewajiban Dalam PHBM
Sistem
berbagi dalam PHBM berdasarkan kontribusi yang diberikan oleh masing-masing
pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumber daya hutan. Besarnya nilai
berbagi akan diterima oleh masing-masing pihak yang berkepentingan dihitung
secra proporsional menurut kontribusinya. Ketenutan berbagi dituangkan dalam
suatu perjanjian PHBM.
Masyarakat Desa
hutan berhak untuk bersama dengan PT. Perhutani
(Persero) dan pihak yang berkepentingan menyusun rencana, melaksanakan,
memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PHBM. Memperoleh manfaat dari hasil
kegiatan sesuai dengan nilai dan proporsi faktor produksi yang
dikontribusikannya. Adapun kewajiban dari masyarakat desa hutan adalah bersama
dengan PT. Perhutani (Persero) dan pihak yang berkepentingan melindungi,
menjaga, dan melestarikan sumber daya hutan untuk keberlanjutan fungsi dan
manfaatnya. Memberikan kontribusi faktor produksi sesuai dengan kemampuannya.
PT. Perhutani (Persero) berhak
untuk bersama masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan menyusun
rencana, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PHBM. Memperoleh
manfaat dari hasil kegiatan sesuai dengan nilai dan proporsi faktor produksi
yang dikontribusikannya. Memperoleh dukungan masyarakat desa hutan dan pihak
yang berkepentingan dalam perlindungan sumber daya hutan untuk keberlenjutan
fungsi dan manfaatnya. PT.
Perhutani (Persero) berkewjiban untuk memfasilitasi dalam proses penyusunan
rencana, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi PHBM. Memberikan kontribusi faktor
produksi sesuai dengan rencana. Mempersiapkan sistem, kultur dan budaya
perusahaan yang kondusif. Bekerjasama dengan masyarakat desa hutan dan pihak
yang berkepentingan dalam rangka mendorong proses optimalisasi dan
berkembangnya kegiatan.
Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota berhak
untuk memperoleh Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH)
sesuai ketentuan yang berlaku. Memperoleh manfaat dari hasil kegiatan baik
berupa kayu maupun non kayu (dalam bentuk uang) sesuai dengan kontribusi yang
diberikan dalam kegiatan PHBM. Adapun kewajibann Pemerintah Propinsi
dan Kabupaten/Kota adalah membmbing dan memberdayakan masyarakat desa hutan,
mengamankan sumber daya hutan, memfasilitasi kegiatan PHBM serta mendorong
proses optimalisasi dan berkembangnya kegiatan.
Untuk
mendukung keberhasilan semua program kegiatan PHBM disetiap desa/kelurahan, kecamatan,
kabupaten/kota dan provinsi dibentuk suatu forum komunikasi PHBM yang bertugas
memberikan masukan dalam proses penyusunan rencana, melaksanakan pemantauan dan
evaluasi, membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan serta menyampaikan laporan
hasil kegiatan kepada forum komunikasi tingkat diatasnya. Untuk itu disetiap
tingkatan dibentuk kesekretariatan tetap atau kelompok kerja.
E. Hasil-Hasil PHBM
Sejak diberlakukannya PHBM, gangguan keamanan hutan
berkurang. Hal ini disebabkan karena kerusakan tegakan jati menyebabkan
menurunnya jumlah sharing yang akan didapat masyarakat desa hutan. Secara
sadar, masyarakat ikut serta dalam rangka menjaga keamanan hutan membentuk
Pam-swakarsa. Hasil lainnya adalah masyarakat mempunyai kesempatan untuk
meningkatkan taraf hidup dengan lebih baik. Hal ini merupakan imbas dari
diberikannya kebebasan kepada mereka dalam mengelola hutan sesuai dengan
keinginannya masing-masing. Namun demikian tentunya sejauh tidak merusak
tegakan pokok.
PHBM ternyata tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat desa
hutan. Dalam pelaksanaannya, PHBM merupakan kegiatan multi program. Perhutani
sering bekerjasama dengan dinas kehutanan (Dishut) kabupaten/kota atau dengan
pemerintah pusat. Dishut sangat terbantu dengan adanya informasi desa yang akan
dijadikan lokasi kegiatan proyek. Selain itu, kebutuhan-kebutuhan mendasar desa
yang menjadi wilayahnya dapat diperoleh informasinya dengan cepat.
Luas
hutan yang dikerjasamakan menjadi hutan pangkuan desa mencapai 2.250.172 Ha
melibatkan lebih kurang 5.456.986 KK tergabung dalam 5.237 Lembaga Masyarakat
Desa Hutan dan 746 Koperasi Desa Hutan. Program PHBM menurut masyarakat telah
memberikan manfaat berupa:
1. Penyerapan
tenaga kerja desa hutan mencapai 5 juta orang pertahun sampai tahun 2010.
2.
Memberi kesempatan berusaha di sektor
industri (216 unit usaha); perdagangan (236 unit usaha); pertanian (1746 unit
usaha); peternakan (308 unit usaha); perkebunan (404 unit usaha); perikanan
(163 unit usaha); jasa (724 unit usaha).
3.
Bagi hasil dari produksi hutan berupa
kayu dan non kayu. Realiasi nilai bagi hasil produksi dari tahun 2005 sampai
dengan Agustus 2010 nilai bagi hasil produksi kayu dan non kayu yang diterima
LMDH adalah Rp. 160,279 milyar.
4.
Pendapatan dari produksi tanaman pangan
seperti padi, jagung, kacang-kacangan kegiatan tumpangsari di lahan hutan
mencapai Rp. 4.979.455.721,- atau rata-rata Rp. 1 milyar per tahun.
F. Hambatan dan Kelemahan
Hambatan dan kelemahan dalam kegiatan PHBM
ini merupakan hal-hal yang secara langsung berkaitan dengan tujuan yang belum
dapat terlaksanakan. Sedangkan solusi yang kemudian dihimpun merupakan kajian
bebas dari berbagai pihak dan pendapat yang di sampaikan untuk mendapatkan
hasil yang di inginkan. Hambatan dan kelemahan tersebut diantaranya yang sering
terjadi di lapangan adalah:
a.
Akses yang sulit dan jarak lokasi
program PHBM yang jauh, sehingga biaya dan waktu yang diperlukan cukup besar.
b.
Terbatasnya SDM dan kemampuan tim utnuk
dapat mencapai target hasil dan target jangka waktu untuk dapat menyelesaikan
program PHBM ini.
c.
Kurang tersedianya data skunder yang
digunakan untuk melengkapi informasi saat perencanaan kegiatan. Data yang sulit
di dapat tersebut berkaitan dengan keterbatasan data yang dimiliki oleh tim,
lembaga yang bersangkutan, informasi yang terbatas dari masyarakat dan data
yang secara langsung melalui survey tim.
d.
Terbatasnya sarana dan prasarana yang
dimiliki oleh tim dan pihak yang ikut berpartisipasi untuk peningkatan hasil
dari program.
e.
Terbatasnya waktu pelaksanaan untuk
dapat melanjutkan program ke arah yang lebih jauh lagi.
G.
Kritik
terhadap Program PHBM
Sebagai
kebijakan yang generik, pelaksanaan PHBM di lapangan masih banyak kekurangan
dan belum bisa mencapai tujuan program yang diharapkan. Berbagai kritik dan tanggapan
disampaikan sehubungan dengan munculnya berbagai permasalahan yang terjadi di
dalam pelaksanaan. Permasalahan yang terjadi di satu wilayah dengan wilayah
lain tidak sama bergantung masalah yang spesifik di lokasi masing-masing. Pembentukan
LMDH proses atau tahapannya dilaksanakan secara cepat seperti mengejar target,
sehingga menyebabkan kepengurusan LMDH menjadi kurang maksimal. Posisi LMDH
yang dibentuk melalui proses jalan pintas atau instan, seringkali tidak secara
kuat mewakili kepentingan kelompok akar rumput. Faktor yang menjadi kendala
dalam pelaksanaan PHBM kurangnya pemahaman masyarakat atas program PHBM karena
kurangnya sosialisasi, tanah lahan garapan yang kurang subur yang memerlukan
biaya yang cukup besar dalam pengelolaanya tidak sebanding dengan hasil panen
yang didapatkan.
Program
PHBM yang sifatnya one size fits all (satu model untuk semua LMDH )
tidak sepenuhnya dapat berjalan di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa.
Pembentukan LMDH yang instan seringkali tidak memperhatikan tata aturan dan
tata kelola pemerintah. Di satu sisi ingin melakukan pemberdayaan masyarakat
tetapi caranya bertolak belakang seperti Perhutani memaksakan “pakem” PHBM
kepada LMDH walaupun tidak disetujui. Jadi idenya pemberdayaan LMDH tetapi
caranya instruktif. Ketika LMDH menjadi satu-satunya lembaga yang diakui secara
sah untuk melakukan kerjasama dengan Perhutani dalam PHBM kendala yang dihadapi
adalah rendahnya tingkat kinerja dan tak jelasnya orientasi kerja para
pengurusnya. Isu-isu strategis yang sebenarnya menjadi agenda kalangan akar
rumput seperti persentase bagi hasil, perluasan lahan garapan, dan kepastian
tenurial, seringkali menjadi terkesampingkan, atau setidaknya bukan menjadi
prioritas, hanya mengejar target.
Karena
mengejar target, pembentukan LMDH belum dapat mewakili kepemimpinan lokal yang
sebenarnya. Banyak pemimpin lokal yang berpengaruh kuat terhadap masyarakat
tidak terakomodasi. Kepengurusan LMDH sebagian besar tidak cukup mengakar.
Setelah terbentuk LMDH tidak langsung dapat beroperasi dengan baik. Kebanyakan
manajemen kelembagaan LMDH belum berjalan dengan baik. Tanggung jawab untuk
mengamankan hutan ternyata tidak diimbangi dengan imbalan (ekonomi) yang cukup,
sehingga mereka tetap hidup dalam kemiskinan. Peran LMDH yang cenderung menjadi
lembaga distribusi daripada lembaga negosiasi adalah fakta yang banyak kita
jumpai di lapangan.
Permasalahan
terkait dengan organisasi dan manajemen LMDH. Kemampuan kelembagaan LMDH masih
rendah, Koordinasi antara LMDH dengan Perhutani dan pemerintah desa, kecamatan
dan kabupaten masih lemah. Pengurus LMDH cenderung pasif, intervensi pihak luar
dirasakan oleh pengurus, ketergantungan pada perhutani sangat tinggi. Belum ada
kepastian batas pangkuan LMDH yang jelas akibatnya terjadi perebutan wilayah
pangkuan hutan. Program PHBM masih dipersepsikan sebagai alat pengamanan hutan bersama
masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi secara keseluruhan
terhadap program PHBM ini, baik internal oleh Perum Perhutani maupun secara eksternal
masyarakat agar ada persamaan pandangan tentang pelaksanaan PHBM sampai dengan
tingkat desa dan kelompok masyarakat. LMDH yang mandiri merupakan “kunci
strategis” bagi upaya keberlangsungan penanggulangan kemiskinan dan
pembangunan.
H.Studi
Kasus: Perhutani Meninggalkan LMDH
Dalam Keputusan Direksi Perhutani nomor 682 tahun 2009
tentang PHBM, Perhutani memunculkan Koperasi Masyarakat Desa Hutan dalam pasal
1 (ayat 6) dan pasal 7 (ayat 6 & 7). Fakta di lapangan, separoh desa hutan
di KPH Pati sudah membentuk koperasi namun sampai sekarang belum berjalan
lantaran tidak ada pendampingan maupun bantuan modal dari Perhutani. Sementara
itu, di KPH Mantingan LMDH membiayai sendiri pengurusan akta notaris koperasi
yang menghabiskan hampir dua juta rupiah. Perhutani juga membentuk Kelompok
tani hutan rakyat di banyak desa hutan. Pejabat Perhutani secara jujur
menyampaikan kepada pengurus LMDH bahwa pengembangan hutan rakyat di luar
kawasan hutan murni untuk menambah pendapatan Perhutani. Pada akhir Februari
2012, telah di deklarasikan Asosiasi Kelompok Tani Hutan Rakyat Indonesia atau
AKATRI di Bandungan Jawa Tengah.
Keluhan para pengurus LMDH, dengan dibentuknya Koperasi
masyarakat desa hutan serta pembentukan kelompok tani hutan rakyat justru
menimbulkan kerancuan kelembagaan dalam LMDH. Hal tersebut berimplikasi pada
tidak seriusnya Perhutani terhadap keberlangsungan PHBM serta kemitraannya
dengan LMDH. Proporsi kegiatan serta anggaran yang semula di optimalkan untuk
koordinasi dan kemitraan dengan LMDH, saat ini malah lebih digunakan untuk
biaya mendirikan koperasi dan kelompok tani hutan rakyat di berbagai tempat.
Sementara itu, di berbagai tempat LMDH tidak dilibatkan
dalam kegiatan usaha di kawasan hutan yang melibatkan investor. Di KPH
Kebonharjo, ada investor yang menanam tanaman ketela berhektar-hektar di hutan
tanpa sepengetahuan LMDH. Di KPH Banyumas Timur banyak obyek wisata di kawasan
hutan dikelola oleh investor tanpa melibatkan LMDH setempat. Beberapa temuan
lapangan tersebut, tidak bersesuaian dengan berbagai pasal yang ada di dalam SK
PHBM nomor 682 tahun 2009.
Beberapa kritik atas berbagai pasal dalam SK PHBM
tersebut juga disampaikan oleh para peserta diskusi. Antara lain: Pertama, definisi Desa
Hutan dalam pasal 1 ayat 3 dinilai memisahkan desa dengan hutan pangkuannya.
Padahal semua hutan sudah terbagi habis dalam wilayah desa. Kedua, menghilangkan
klausul tentang klasifikasi LMDH pemula,muda, madya, dan mandiri. Klausul
ini tidak jelas indikatornya serta cenderung mengarah pada absennya Perhutani dalam
keberlangsungan LMDH dan PHBM di kemudian hari.
Ketiga, perlu diatur juga tentang Paguyuban
LMDH sebagai bagian dari stakeholders yang terlibat dalam perumusan kebijakan
dan implementasi PHBM. Keempat,
klausul kelola sosial dinilai sebagai ketentuan yang mengada-ada dalam SK PHBM.
Klausul tersebut dinilai hanya dicantumkan untuk mendukung Perhutani yang saat
ini tengah mengejar sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari. Kelima, perlu diatur juga
mekanisme evaluasi dari LMDH atas kinerja Perhutani. Selama ini, evaluasi hanya
dilakukan Perhutani dan LSM terhadap LMDH saja.
Dalam Keputusan Direksi Perhutani nomor 436 tahun 2011
tentang Bagi Hasil Hutan Kayu terdapat beberapa kritik dan saran yang
disampaikan oleh pada pengurus LMDH antara lain sebagai berikut:
Pertama, tentang Faktor Produksi. Selama ini
LMDH tidak pernah diajak berembug tentang besaran nilai dan faktor produksi.
Seharusnya penetapan besaran nilai dan faktor produksi dilakukan melalui proses
perumusan bersama antara Perhutani dan LMDH.
Kedua,
tentang Faktor
Koreksi. Penetapan
faktor koreksi tidak dilakukan secara transparan dan partisipatif dengan
melibatkan LMDH. Para pengurus LMDH tidak sepakat adanya faktor koreksi dalam
bagi hasil hutan kayu. Kalaupun ada kebutuhan untuk memasukkan faktor koreksi,
maka nilai faktor koreksi harusnya ditetapkan bersama-sama oleh Perhutani dan
LMDH melalui proses yang partisipatif dan transparan. Jikalau ada faktor
koreksi bentuk punishment
atas kinerja LMDH, maka seharusnya juga ada Faktor Bonus untuk LMDH sebagai
bentuk dari reward
atas kinerja LMDH.
Ketiga, tentang Hasil Hutan Kayu. Dalam SK
ini, hasil hutan kayu yang menjadi obyek berbagi adalah kayu perkakas dan kayu
bakar dari kawasan hutan produksi yang dikelola melalui proses Pengelolaan
Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Pertanyaan yang diajukan LMDH adalah
bagaimana dengan hasil kayu dari kawasan selain hutan produksi? Harusnya semua
kawasan hutan dikelola melalui proses PHBM. Harus ada sharing di kawasan
lindung. Kayu-kayu berikut ini harusnya menjadi obyek berbagi antara lain:
(i)
Rencek, tonggak, limbah tebangan; (ii) Hasil kayu karena bencana alam; (iii)
Kayu yang rusak karena terserang hama/penyakit; (iv) Barang bukti; (v) Kayu puruk yaitu pohon diluar
tanaman pokok; (vi) Hasil tebangan yang tidak direncanakan. Rencana tebang
harus melibatkan LMDH.
Keempat, tentang Bentuk Sharing. Selama ini
sharing untuk LMDH diberikan dalam bentuk uang tunai. LMDH mengusulkan
pemberian sharing hasil hutan kayu dalam bentuk kayu. Alasanya, sharing dalam
bentuk uang cenderung merugikan LMDH lantaran di dasarkan pada harga jual dasar
Perhutani. Selain itu, pemberian sharing yang selama ini dilakukan dengan
seremonial besar-besaran cenderung pemborosan. Jika harus dilakukan dengan
seremonial, seharusnya pembiayaannya tidak diambilkan dari dana sharing milik
LMDH.
Kelima, tentang Alokasi Pemanfaatan Sharing.
Alokasi pemanfaatan sharing yang diterima LMDH seharunya merupakan hak otonom
dari LMDH, tidak perlu di tentukan oleh Perhutani.
Keenam, tentang Penyelesaian Sengketa. Dalam
proses penyelesaian sengketa, jika proses musyawarah dan mufakat tidak
tercapai, sebelum diselesaikan melalui pengadilan, seharusnya ada proses
mediasi dengan Paguyuban LMD dan FK PHBM sebagai mediator. Beberapa catatan
yang lain juga terumuskan antara lain: (a)
Belum ada pedoman tentang berbagi hasil non kayu, usaha produksi,
dan wisata; (b), Tarif upah ditentukan sepihak oleh Perhutani. Harusnya LMDH
dilibatkan.
I.
Upaya Mengatasi Permasalahan Dalam
Pelaksanaan PHBM
·
Bidang
Organisasi
1.
Untuk percepatan implementasi PHBM
perlu petugas khusus (Perhutani) di setiap BKPH yang tidak merangkap pekerjaan
lainnya.
2.
Dalam kepengurusan LMDH harus melibatkan
seluruh elemen masyarakat.
3.
Meningkatkan hubungan/komunikasi antara
para pihak (Perhutani, LMDH, Pemda dan Pihak yang berkepentingan)
4.
Sosialisasi dan pelatihan terus
dilaksanakan dalam rangka peningkatan SDM (Perhutani, LMDH dan Pemda)
5.
Menyusun, memonitoring dan mengevaluasi
program kegiatan
6.
Penjajagan kebutuhan masyarakat
(Community Need Assesment)
- Teknik-tehnik pemecahan masalah (problem solving)
- LMDH harus menjadi “lembaga masyarakat” yang mengakar sehingga tidak menjadi milik Perum Perhutani.
·
Bidang
Usaha
1.
Kemudahan / penyederhanaan prosedur
dalam kerjasama kegiatan PHBM sehingga LMDH tidak selalu terbentur oleh
persaratan birokrasi atau administrasi.
2.
Keterbatasan modal LMDH menjadi kendala
utama dalam pelaksanaan program.
3.
Perlu dukungan Pemda dalam pembinaan
Usaha Tani didalam kawasan hutan melalui Dinas terkait yang ada.
4.
Mengelola keuangan dengan baik.
·
Bidang
Pengelolaan SDH
1.
Bidang Keamanan hutan : kesamaan
persepsi bahwa keamanan hutan adalah
tanggung jawab bersama antar pihak (tidak terpisah-pisah) serta penempatan
petugas Perhutani agar disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat
2.
Semua
harus pihak mendukung program KPH
hijau dan asri.
PENUTUP
Kesimpulan
1.
PHBM
merupakan program pengelolaan hutan yang dinilai bisa memberikan kontribusi
positif keapada masyarakat sekitar hutan.
2.
Pola
PHBM bisa dijadikan salah satu alternatif model pengelolaan hutan di setiap diklat
di Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan.
3.
Implementasi PHBM meliputi sosialisasi,
dialog, kelembagaan/pembentukan KTH, negosiasi, perjanjian bersama, dan
kelembagaan.
4.
Sasaran program PHBM adalah pemberdayaan masyarakat sekitar
hutan dan atau masyarakat yang berkepentingan dengan memadukan
aspek-aspek ekonomi, ekologi, dan sosial secara proporsional yang tujuannya
untuk kesejahteraan hidup.
5.
Hasil program PHBM telah memberikan
penyerapan tenaga kerja desa hutan, memberikan kesempatan berusaha di sektor industry,
bagi hasil produksi hasil hutan kayu dan non kayu, dan memberikan pendapatan
produksi tanaman.
6.
Program PHBM plus-plus adalah program yang bukan hanya plus manajemennya tetapi juga plus pihak yang terlibat, plus ide
pengelolaannya dan plus juga hasil yang diperolehnya.
Saran
Penulis memberikan saran agar program
PHBM benar-benar dihayati dan dijiwai dengan melaksanakan hak dan kewajibannya
masing-masing sehingga hasil program ini ke depannya menjadi lebih baik.
Demikian PHBM plus-plus untuk benar-benar diterapkan demi mengembalikan
kelestarian hutan kita yang hilang.
DAFTAR
PUSTAKA
Arupa. 2012. Ketidakadilan PHBM.
Diakses dari: http://www.arupa.com/ketidakadialan-phbm/ Diakses pada: [15 September
2012][10.00 WIB]
Awang S. A. 2006. Partisipasi dan
Pemberdayaan Masyarakat. Buku Ajar Program Peningkatan Kualitas Pembelajaran
dan Penjaminan Mutu. Fakultas Kehutanan, UGM.
CIFOR.
2003. Perhutanan Sosial. Menuju kesejahteraan dalam Masyarakat Hutan. http://www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/Books/BAlbornoz0701Ia pdf.
[16 September 2012] [17.00 WIB]
Dephut. 2006. Promosi Hasil Pengelolaan
Hutan Berbasis Masyarakat (CBFM). www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/2629. [16 September 2012] [15.00 WIB]
Prambudianto.
2007. Rancangan
Program Penguatan Kapasitas LMDH Dan Peningkatan Efektivitas PHBM. IPB. Bogor
Tani, G.
2011. Paguyuban LMDH. Diakses dari: http://www.gardutani.com/paguyuban-lmdh/ Diakses
pada: [15 September
2012][10.30 WIB]
Tenure W G. 2007. Kajian dan Opini Apa
kata mereka tentang:“Hak dan Akses Masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan
Sumberdaya Hutan”. Jakarta
Widayanti. 2005. Model-Model Hutan
Kemasyarakatan dan Kritik PHBM. IPB. Bogor
ijin copy ya kak
BalasHapuspleasa bsa copy yah
BalasHapusizin salin kak, ini sangat berarti
BalasHapusizin menyalin ya kak, untuk penelitian :)
BalasHapus