PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan memiliki peran besar dalam perubahan iklim. Antara 86
hingga 93 juta hektar, atau hampir setengah total wilayah Indonesia merupakan
tutupan hutan. Namun, data mutakhir pada Kementerian Kehutanan menunjukkan
Indonesia kehilangan 1,18 juta hektar hutan tiap tahun, dengan deforestasi dan
perubahan tata guna lahan, termasuk lahan gambut, yang memicu 60 persen total
emisi Indonesia. Merosotnya luas dan mutu hutan, serta tekanan masyarakat
Internasional terhadap negara-negara yang memiliki hutan terbesar di dunia,
membuat Indonesia mendeklarasikan komitmen untuk mengurangi hingga 26% emisi
yang diakibatkan oleh perubahan penggunaan lahan dan kehutanan pada 2020.
Kerusakan
dan susutnya lahan hutan di Indonesia sangat tinggi. Ini membahayakan
kelestarian sumberdaya hutan dan memicu perubahan iklim global. Salah satu
penyebab surutnya sumberdaya hutan adalah pembalakan liar. Ada beberapa jalan
untuk mengerem pembalakan liar. Yakni memotong perdagangan kayu ilegal.
Caranya, dengan mengawasi transaksi kayu illegal melalui sertifikasi (labelling)
atas asal-usul kayu. Dalam bisnis perkayuan, cara ini lazim disebut Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Melalui verifikasi, ada harapan kayu di
pasaran dapat dipertanggungjawabkan legalitasnya. Orang tak lagi asal menebang
pohon, asal menjual, dan asal membeli kayu. Dengan begitu, cita-cita tentang sustainable
forest management (SFM) jangka panjang dapat diwujudkan. Itu manfaat
ekologis sertifikasi kayu, yakni sebagai salah satu instrumen untuk menghambat
potensi kehilangan karbon, khususnya pada satuan-satuan wilayah kayu tersebut
berasal. Secara ekonomi, sertifikasi kayu berpeluang memberikan efek jera bagi
pengusaha yang menjalankan industri dengan bahan kayu ilegal dan atau
memperdagangkan kayu ilegal. Dengan begitu, intensitas dan luas kawasan
pembalakan liar dapat ditekan. Dan pada gilirannya, secara tak langsung itu
akan menambah akumulasi stok karbon (green-carbon) yang bermanfaat
menahan laju pemanasan global.
Itu
berarti, kayu disebut legal bila kebenaran asal kayu, izin penebangan, sistem
dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi angkutan, pengolahan, dan
perdagangan atau pemindahtanganannya dapat dibuktikan. Yakni, dengan memenuhi
semua persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. SVLK sendiri merupakan komitmen
pemerintah kepada dunia jika produk kayu Indonesia adalah legal dan tidak
merusak hutan. Peraturan yang akan diterapkan secara mutlak pada bulan Maret
2013 ini mewajibkan setiap kayu yang akan diekspor harus mencantumkan dokumen
asalnya. Sebelum mendapatkan sertifikat ini, sebuah produk kayu harus bisa
menunjukkan legalitasnya mulai dari lokasi penebangan, pengangkutan, hingga
perdagangan. Sertifikasi ini harus dimiliki oleh Industri Primer dan Industri
lanjutan yang menggunakan produk kayu. Meskipun peraturan ini merupakan sesuatu
yang wajib, banyak pihak yang berkepentingan masih belum memahami mengenai tata
pelaksanaannya. Untuk itu, merasa penting untuk membuat sebuah sistem informasi
yang bisa diakses masyarakat umum mengenai pelaksanaan SVLK. Salah satunya
melalui pembuatan website yang berisi berbagai informasi seputar SVLK. Mulai
dari perundangan, tata cara pengajuan, hingga daftar lembaga yang bisa
mendampingi pengusaha untuk mendapatkan SVLK.
Hambatan lainnya adalah persoalan black campaign dari pada
pelaku bisnis perijinan yang sudah pasti merasa terganggu dengan adanya sistem
ini. Mereka yang paling terkena dampak merugi (negatif) jika semua pihak
menyiapkan perbaikan pelayanan, birokrasi perijinan dan transparansi proses
penilaian dan legalitas dalam SVLK. Sehingga seringkali media digunakan untuk
menolak diberlakukannya SVLK, dengan menggunakan terminologi bahwa
SVLK mahal dan membebani pelaku usaha. Untuk perbaikan
tata-kelola kehutanan ini memang harus dibayar mahal oleh pelaku usaha
kehutanan dan industri kehutanan skala besar. Di
Sumatra Utara, banyak dari organisasi non-pemerintah yang bergiat pada isu
kehutanan masyarakat atau konservasi. Latar belakang pendidikan sangat beragam.
Meskipun di Sumatra utara ada keseragaman lembaga, tetap saja terdapat
keberagaman latar belakang pendidikan. Ini menimbulkan potensi keberagaman
kapasitas penyerapan informasi dan pengetahuan.
Tujuan
dan Manfaat
Tujuan
dari kegiatan pembuatan sistem informasi on-line
di kalangan industri kayu kota Medan adalah:
1.
Masyarakat kota Medan mendapat manfaat
pengetahuan secara langsung berupa:
- Pengetahuan
akan pentingnya menjaga lingkungan hutan dan sekitarnya.
- Mendapat
pengetahuan baru seputar SVLK dan tata
pelaksanaannya di lingkungan industri kayu kecil, menengah, dan besar
- Mengamati
perkembangan kinerja pemerintah dan Menteri Kehutanan di bidang kehutanaan
2.
Industri kayu/pengusaha kota Medan mendapat
manfaat pengetahuan secara langsung berupa:
- Pengetahuan
akan pentingnya menjaga lingkungan hutan dan sekitarnya.
- Mengetahui
perundangan, tata cara
pengajuan, hingga daftar lembaga yang bisa mendampingi pengusaha untuk
mendapatkan SVLK.
- Mengamati
perkembangan kinerja pemerintah dan Menteri Kehutanan di bidang kehutanaan.
- Manfaat lanjutan, industri kehutanan
mudah mendapatkan sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), atau setidak-tidaknya
sertifikat legalitas jika benar-benar dimengerti dan dilaksanakan.
3.
Pemerintah
mendapat kemudahan karena telah terbantu dalam hal:
- Akses informasi yang mudah telah
diinformasikan kepada seluruh pihak tanpa melibatkan banyak peran di dalamnya.
- Tanpa menunggu kinerja beberapa pihak
yang biasanya lambat dan cenderung melibatkan banyak peran.
- Menjadi suatu gagasan untuk diterapkan
di seluruh industri kehutanan skala kecil, menengah hingga besar di Indonesia.
- Secara
langsung program SVLK telah berhasil menyelamatkan sisa hutan dan meningkatkan
martabat Indonesia di pasar Internasional.
- Produk
kehutanan dengan mudah diterima di pasar Internasional.
GAGASAN
SVLK bermula dari
pembahasan multi-pihak sejak tahun 2003 yang kemudian melahirkan Permenhut No.
P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau
pada Hutan Hak. Peraturan inilah yang kemudian dikenal luas sebagai sistem
verifikasi legalitas kayu (SVLK). Peraturan ini kemudian disempurnakan melalui
Peraturan Menteri Kehutanan P.68/Menhut-II/2011. SVLK merupakan bentuk
tanggung jawab Indonesia dalam menjawab tantangan perdagangan kayu
internasional yang memerlukan bukti legalitas.
P.38/Menhut-II/2009
jo. P.68/Menhut-II/2011 mengamanatkan agar unit usaha kehutanan memegang
sertifikat pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL), atau setidak-tidaknya
sertifikat legalitas. Sedangkan unit industri yang berbahan baku kayu, baik
industri kayu primer maupun industri lanjutan, harus mendapatkan sertifikat
legalitas. Penilaian PHPL/legalitas dilaksanakan secara independen oleh lembaga
penilai/verifikasi yang diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), dan
diawasi pelaksanaannya oleh pengawas independen yang berasal dari LSM/
masyarakat madani. Sampai akhir 2011 telah dilakukan penilaian kinerja
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) pada unit kelola/ pemegang ijin pada
berbagai tipe pengelolaan hutan dengan total areal seluas kurang lebih 5,5 juta
ha.
Uni
Eropa telah mengadopsi Timber Regulation untuk menghambat beredarnya kayu
ilegal di pasar Eropa. Timber Regulation akan mulai efektif berlaku sejak Maret
2013. Mulai saat itu import kayu ke negara-negara anggota Uni Eropa yang
berasal dari negara-negara yang ditengarai terjadi illegal logging akan
dilakukan due diligence untuk
menghindari masuknya kayu-kayu illegal ke pasar Uni Eropa. Due diligence dan Timber
Regulation tidak berlaku manakala suatu negara eksportir kayu seperti
Indonesia menandatangani Voluntary
Partnership Agreement (VPA) dengan Uni Eropa. Sampai dengan tahun 2008,
standar dan kelembagaan untuk sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) tersebut
belum secara utuh memperoleh kesepahaman diantara para pihak pemegak
kepentingan (multi-stakeholders) terutama bagi pihak-pihak yang kelak
akan menggunakan sistem tersebut.
Sebagai
contoh, sebuah perusahaan multinasional, PT RAPP sangat ketat dalam menerapkan
standar legalitas kayu. Karena itu, wajar mendapatkan sertifikasi SVLK. PT Riau
Andalan Pulp and Paper (RAPP) mengantongi sertifikat Legalitas Kayu (LK) dari
asesor independen PT Mutuagung Lestari (MAL). Sertifikat tersebut mengacu
kepada Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang diterapkan Indonesia untuk
memastikan bahan baku kayu yang diolah berasal dari sumber yang legal.
Perkembangannya sangat
baik, karena sejak diundangkannya SVLK sebagai suatu kebijakan di Kementerian
Kehutanan, guliran bola salju perubahan kebijakan semakin membesar.
Koordinasi antar kementerian terkait dan lembaga lainnya terjadi secara
nyata. Salah satunya adalah koordinasi antar Kementerian Perdagangan,
Perindustrian, Ditjen Bea dan Cukai, KAN, para asosiasi dan beberapa pihak
lainnya termasuk perwakilan LSM, tentang pergantian peran, fungsi dan mekanisme
Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) sebagai lembaga endorsemen ekspor
produk perkayuan Indonesia. Selama ini, tata cara ekspor produk perkayuan
diatur melalui peraturan Menteri Perdagangan No. P.20/2009. Kemudian dengan
keputusan Mendag No. Kep 405/2009 BRIK diberikan mandat untuk melakukan
endorsemen terhadap 11 HS produk kehutanan. Karena SVLK dinilai jauh
lebih memiliki kredibilitas dan keberterimaan di pasar kayu internasional
sebagai suatu sistem yang secara independen membuktikan legalitas produk
perkayuan Indonesia melalui verifikasi administrasi dan fisik di lapangan, maka
peraturan Menteri Perdagangan tersebut direvisi dengan melibatkan juga para
pihak dan akan segera difinalkan oleh Menteri Perdagangan .
Melalui proses yang panjang
antar pihak yang terus membahas kebijakan SVLK, perbaikan tata kelola
diperlihatkan dengan terbangunnya dan guliran bola salju itu adalah telah
ditetapkannya Peraturan Menteri Kehutanan No. P.7/Menhut-II/2011
tentang Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Kementerian Kehutanan beserta
peraturan teknis terkait penetapan unit layanan informasi di Kementerian
Kehutanan dan di unit kehutanan regional, serta integrasi norma terkait
keterbukaan informasi dan keberadaan Licencing Information Unit (pusat informasi kayu legal) di Kementerian Kehutanan. Kesiapan sistem
informasi untuk memastikan berjalannya Licencing Information Unit (pusat informasi kayu legal) di Kementerian Kehutanan,
diperlihatkan dengan disekapatinya mekanisme kerja antara LIU dengan Bea Cukai,
Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian, termasuk mendukung
pemantauan independen yang efektif dengan jelasnya akses informasi di tingkat
nasional dan daerah. LIU telah diluncurkan pada tanggal 1 Agustus 2012,
dimana sebelumnya telah disiapkan kelembagaan dan Direktorat Sistem Informasi
Legalitas Kayu di Kementerian Kehutanan, yang telah disetujui oleh Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) dan telah dilantik Pejabat dan perangkat
yang menyertainya.
Kritisi dan kajian
pelaksanaan Kebijakan P.38/2009 pun dilakukan banyak pihak, sehingga kebijakan
inipun mengalami revisi menjadi P.68/2011, untuk mengakomodasi banyak hal
persoalan-persoalan di lapangan dan juga perbaikan dari sistem. Memang
secara penuh perbaikan kebijakan ini belum dan tidak memenuhi keinginan semua
pihak, namun titik-titik kritis persoalan dari implementasi kebijakan ini terus
dilakukan.
Sebagai sebuah instrument
perbaikan tata kelola kehutanan, maka semua pihak harus disiapkan untuk melakukan
perubahan dalam tata kelola di masing-masing lembaga. Dan kuncinya adalah
pada perbaikan kebijakan dan peningkatan kapasitas. Di pihak pemerintah,
perbaikan birokrasi pelayanan dan sumber daya manusia mulai dilakukan.
Peningkatan kapasitas di pusat dan daerah sedang berlangsung, hal ini bisa
terlihat dari alokasi anggaran di masing-masing lembaga pemerintahan baik
pelaksanaan SVLK. Hal ini terlihat nyata di Kementrian Kehutanan.
Dipihak Unit Usaha Kehutanan dan Industri Kehutanan, pembenahan di
manajemen dilakukan dengan menyiapkan seluruh aspek legalitas yang akan
diverifikasi. Hal ini tidak mudah karena berkaitan dengan pengelolaan
resiko yang harus dilakukan oleh semua pihak dan memasukan ini sebagai
investasi dan bukan sebagai biaya.
Hambatan dari berjalannya
sistem ini adalah memastikan bahwa sistem ini didukung semua pihak dan
mengingatkan kembali bahwa SVLK hanya salah satu intstrumen perbaikan tata kelola
kehutanan, artinya SVLK bukan menjadi alat untuk menyelesaikan semua persoalan
carut marutnya pengelolaan sumberdaya hutan. Sebagai contoh, banyak
ekspektasi bahwa SVLK harus menyelesai persoalan konflik lahan, misalnya. Jelas
secara langsung, indikator dalam memverifikasi legalitas di lapangan tidak
diperuntukan untuk menyelesaikan kasus konflik lahan dari unit usaha, karena
persoalan konflik penggunaan lahan harus diselesaikan oleh pemerintah
sepenuhnya.
Hambatan lainnya adalah
persoalan black campaign
dari pada pelaku bisnis perijinan yang sudah pasti merasa terganggu dengan
adanya sistem ini. Mereka yang paling terkena dampak merugi (negatif)
jika semua pihak menyiapkan perbaikan pelayanan, birokrasi perijinan dan
transparansi proses penilaian dan legalitas dalam SVLK. Sehingga
seringkali media digunakan untuk menolak diberlakukannya SVLK, dengan
menggunakan terminologi bahwa SVLK mahal dan membebani pelaku usaha.
Bagi saya perbaikan tata kelola kehutanan ini memang harus dibayar mahal oleh
pelaku usaha kehutanan dan industri kehutanan skala besar. Mereka dan
para oknum pemerintah sudah terlalu lama menikmati carut marutnya kebijakan
tata kelola kehutanan dan sekarang saat mereka keluar dari sistem ini. Tidak
mudah, tapi harus! Oleh karenanya saya mendorong agar pemerintah
mengalokasikan APBN untuk menyiapkan dan memastikan terlaksananya SVLK di UKM
dan IKM karena mereka justru yang harus mendapatkan pelayanan dan manfaat dari
perbaikan sistem ini. Kedepan, UKM dan IKM-lah yang bisa diharapkan dapat
memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
SVLK juga terkait erat dengan tata pemerintahan
dalam sektor kehutanan. Tata pemerintahan sektor kehutanan cukup membantu
proses penguatan dan implementasi SVLK di tanah air karena konteksnya bukan membantu tapi
mereka yang harus melakukan reformasi dan menjadi mesin perubahan bagi semua
pihak di Indonesia. Sekali lagi, tidak mudah tapi harus! Melihat kemajuan SVLK, MFP adalah sebuah program
kerjasama Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Inggris bagi perbaikan tata
kelola kehutanan. Sehingga untuk melihat fokus MFP ke depan, sebaiknya
ditanyakan pada kedua pihak tersebut, karena saya tidak memiliki kapasitas
untuk menjawabnya. Namun harapannya, peran MFP sebagai fasilitator proses
dan pembangunan sistem ini perannya harus mulai dikurangi, agar bola salju yang
telah bergulir cukup besar menjadi drive
bagi perbaikan tata kelola sumber daya hutan di negeri ini karena SVLK adalah national brand.
Mungkin
sebenarnya pasar bukan menginginkan SVLK, tetapi yang diinginkan adalah
keterbukaan dalam pengaturan dalam tata usaha kayu sehingga semua produk kayu
yang masuk ke pasar bisa diketahui oleh publik terhadap keabsahan legalitasnya
termasuk mengetahui dari petak pohon mana produk tersebut ditebang, kawasan
hutan atau bukan, pemiliknya siapa, bagaimana yang mengelola hutannya, dan
sebagainya. Apapun bentuk sistem dan kelembagaan yang ingin digunakan yang
penting bisa menjelaskan proses kesemua (transparansi) itu pada pasar, maka
respon positif terhadap harga produk bersangkutan akan meningkat.
Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu memiliki beberapa lembaga dalam pengaturannya,
diantaranya adalah Badan Pelaksana, Lembaga Akreditasi, Lembaga Verifikasi,
Lembaga Penyelesaian Keberatan, dan Lembaga Pemantau. Tiap lembaga dan badan
tersebut memiliki fungsi dan tugas masing-masing yang pada umumnya anggota
dalam lembaga-lembaga tersebut terdiri dari unsur-unsur berbagai pihak. Hal ini
untuk menjamin bahwa proses dalam sistem ini adalah terbuka dan dapat diketahui
oleh semua pihak terhadap kegiatan verifikasi pada produk kayu bersangkutan.
Sehingga akan memberikan respon positif terhadap pasar baik nasional maupun
internasional. Namun, kesemua lembaga dan badan tersebut akan memperoleh mandat
dari Departemen Kehutanan, terkecuali untuk Lembaga Pemantau yang hanya perlu
didaftarkan di Departemen Kehutanan. Selama ini dalam organisasi Departemen
Kehutanan yang menangani pengelolaan dan pengaturan produksi hasil hutan berada
dalam naungan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan.
Pembuatan
sistem informasi on-line sebagai
sarana pengenalan SVLK di kalangan industri kayu kota Medan ini tentunya akan
melibatkan pihak yang memang jumlahnya tidak banyak. Dalam pembuatan media on-line ini, penulis mengharapkan campur
tangan dari pihak dosen, badan pelaksana SVLK di tingkat kota, operator (teknisi)
yang berpengalaman dibidang sistem informasi, lembaga verifikasi tingkat kota,
dan lembaga pemantau keberhasilan sistem ini di kalangan yang mengaksesnya.
Tentunya pihak-pihak tersebut memiliki peranannya masing-masing dalam
pelaksanaan sistem infomasi ini di lapangan.. Diharapkan tingkat keberhasilan
program ini dapat dicapai semaksimal mungkin tanpa menunggu kinerja
pemerintahan yang terkadang begitu lambat. Sehingga penulis mengharapkan dengan
dilaksanakannya program ini kerja pemerintah telah tertolong dalam hal tenaga
dan waktu. Tentunya program ini juga
dapat lebih dikembangkan dan diterapkan di seluruh kalangan industri kayu
nasional sehingga berjalan maksimal dibandingkan harus terjun langsung ke
lapangan melakukan penyuluhan skala nasional. Hal ini tentunya begitu susah
karena memerlukan waktu yang panjang dan tenaga yang besar. Belum lagi tingkat
keberhasilannya dapat dikatakan kurang maksimal.
Dalam
pelaksanaan pembuatan sistem informasi on-line
ini, langkah konkrit yang dapat diambil yaitu penulis menghubungi pihak dosen dan
berbicara langsung mengenai perihal program yang akan dilaksanakan. Pihak dosen
diharapkan dapat memberikan arahan dan bantuan terkait mencari lembaga-lembaga
yang bergerak dalam bidang pelaksanaan SVLK di kota Medan dan membantu penulis
agar dapat bergabung dalam program pelaksanaan SVLK di tingkat kota (skala
kecil) atau setidaknya lembaga pelaksanaan membantu dalam hal pembuatan sistem
informasi on-line tersebut. Langkah
berikutnya tentunya akan mudah karena sudah terkoneksi secara langsung dengan
satu lembaga atasannya. Berikutnya penulis akan menghubungi pihak operator
(teknisi) yang berpengalaman di bidang pembuatan sistem informasi. Setelah
disetujui, penulis akan menjelaskan media on-line
yang seperti apa yang harus dibuat. Tentunya menarik dan bermutu. Sedangkan
lembaga verifikasi berfungsi membantu masyarakat luas menjawab berbagai
keluhan, pertanyaan, dan keberatan yang mereka alami dalam pelaksanaan guna
memperoleh sertifikat legalitas. Lembaga ini tentunya harus ramah, cermat, dan
berpengalaman dibidangnya. Setelah semua berhasil dilaksanakan, penulis meminta
lembaga pemantau untuk memantau seluruh kinerja lembaga dan mengevalusi
keberhasilan program di lapangan. Hasil dari pelaksanaan program dicatat,
didata tingkat kesuksesannya kemudian diolah untuk mendapatkan kriteria
kelayakan untuk diterapkan skala nasional di seluruh kalangan industri
kehutanan.
KESIMPULAN
Gagasan yang akan
penulis ajukan adalah membuat sistem informasi on-line
sebagai media pengenalan SVLK bagi para pihak yang memuat informasi-informasi mengenai
perundangan, tata cara
pengajuan, hingga daftar lembaga yang bisa mendampingi pengusaha untuk
mendapatkan SVLK. Sistem informasi ini nantinya dapat diakses oleh semua
kalangan, khususnya industri kehutanan kota Medan. Karena penulis melihat bahwa
industri kehutanan yang berada di kota Medan belum sepenuhnya memiliki
sertifikat legalitas yang disebabkan karena berbagai industri kehutanan yang
ada belum sepenuhnya mengerti tentang apa itu SVLK, manfaatnya, ketentuannya,
dan cara mendapatkan SVLK. Sehingga melalui program ini, kalangan industri
kehutanan khususnya di kota Medan mendapat pengetahuan baru akan pentingnya
mengantongi sertifikat legalitas. Hal ini tentunya berdampak secara langsung pada
pengelolaan hutan yang lestari sehingga mampu menjaga sisa hutan yang ada dan
meningkatkan martabat Indonesia di mata Internasional karena pelaksanaan SVLK
di dunia akan pertama kali dilaksanakan di Indonesia. Melalui hal kecil penulis
mengambil peran untuk memajukan dan mensukseskan pelaksanaan SVLK.
Teknik dalam pembuatan sistem informasi on-line
sebagai media pengenalan SVLK di berbagai industri kehutanan kota Medan adalah
melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga yang terkait di bidangnya, yakni dosen,
lembaga pelaksana, operator (teknisi) yang berpengalaman, lembaga verifikasi,
dan lembaga pemantau. Penulis melihat pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang
terlibat sudah menjamin keberhasilan program ini. Sistem informasi yang akan
diajukan sendiri adalah berbentuk website resmi Dinas Kehutanan Provinsi Kota
Medan yang berisikan informasi lengkap seputar SVLK dan bagaimana cara
mendapatkannya. Selain itu, website ini berisi kolom pertanyaan, keluhan, dan
keberatan masyarakat akan pelaksanaan SVLK yang ada, yang nantinya akan dijawab
secara langsung oleh bagian verifikasi yang berpengalaman sehingga tidak ada
keragu-raguan untuk mengikutinya. SVLK yang sifatnya wajib didapatkan haruslah
benar-benar dapat diterima masyarakat dan kalangan industri kehutanan. Sehingga
sistem informasi on-line ini terbuka
secara umum untuk diakses masyarakat luas dan pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan akan segera dijawab dalam waktu 1x24 jam. Sistem informasi ini juga
dilengkapi video-video menarik dan media interaktif yang bernuansa positif. Website
ini nantinya bisa diakses oleh semua kalangan di www.sumateracertifiedwood.com.
Interaktif juga terbuka 1x24. Semua akan diusahakan secara maksimal agar tidak
ada lagi industri kehutanan dan masyarakat luas yang tidak mengetahui SVLK
secara luas dan menyeluruh.
Penulis
percaya apabila program ini dilaksanakan akan berdampak positif terhadap semua
pihak termasuk kalangan industri kehutanan sendiri. Prediksi penulis bahwa
tingkat keberhasilan program ini mencapai 80% apabila dilaksanakan. Tentunya
semua pihak yang mengakses website dan benar-benar mempelajarinya mendapatkan
pengetahuan secara langsung. Manfaat dan dampak dari gagasan ini yaitu secara
langsung program SVLK telah berhasil menyelamatkan sisa hutan dan meningkatkan
martabat Indonesia di pasar Internasional serta produk kehutanan dengan mudah diterima
di pasar Internasional karena telah memiliki sertifikat legalitas.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifenie NF. 2013. SVLK Berlaku, 220
Eksportir Belum Bersertifikat. Diakses Dari:
http://www.industri.kontan.co.id/news/svlk-berlaku-220-eksportir-belum-bersertifikat.
Diakses Pada: [21 Maret 2013][18.03 WIB]
Bayunanda A, dkk. 2013. Lebih Dari 300
UKM Menuju Sertifikasi SVLK Dalam 3 Tahun. Siaran Pers: Jakarta
Dharmawan HA, dkk. 2012. SVLK, Jalan
Menuju REDD+. Forest Governance and Multistakeholder Forestry Programme:
Jakarta
Sasongko AB. 2012. Sertifikasi Kayu:
Pemantauan SVLK Masih Lemah. Diakses Dari:
http://www.solopos.com/2012/12/13/sertifikasi-kayu-pemantauan-pelaksanaan-svlk-masih-lemah-357466.
Diakses Pada: [21 Maret 2013][19.20 WIB]
Sudarsono D. 2009. SVLK Menuju
Pengelolaan Hutan Lestari & Legalitas Kayu. Yayasan Samanta: Nusa Tenggara
Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar