Rabu, 03 April 2013

GAGASAN MENGENAI SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (SVLK)

PENDAHULUAN
Latar Belakang
        Hutan memiliki peran besar dalam perubahan iklim. Antara 86 hingga 93 juta hektar, atau hampir setengah total wilayah Indonesia merupakan tutupan hutan. Namun, data mutakhir pada Kementerian Kehutanan menunjukkan Indonesia kehilangan 1,18 juta hektar hutan tiap tahun, dengan deforestasi dan perubahan tata guna lahan, termasuk lahan gambut, yang memicu 60 persen total emisi Indonesia. Merosotnya luas dan mutu hutan, serta tekanan masyarakat Internasional terhadap negara-negara yang memiliki hutan terbesar di dunia, membuat Indonesia mendeklarasikan komitmen untuk mengurangi hingga 26% emisi yang diakibatkan oleh perubahan penggunaan lahan dan kehutanan pada 2020.
          Kerusakan dan susutnya lahan hutan di Indonesia sangat tinggi. Ini membahayakan kelestarian sumberdaya hutan dan memicu perubahan iklim global. Salah satu penyebab surutnya sumberdaya hutan adalah pembalakan liar. Ada beberapa jalan untuk mengerem pembalakan liar. Yakni memotong perdagangan kayu ilegal. Caranya, dengan mengawasi transaksi kayu illegal melalui sertifikasi (labelling) atas asal-usul kayu. Dalam bisnis perkayuan, cara ini lazim disebut Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Melalui verifikasi, ada harapan kayu di pasaran dapat dipertanggungjawabkan legalitasnya. Orang tak lagi asal menebang pohon, asal menjual, dan asal membeli kayu. Dengan begitu, cita-cita tentang sustainable forest management (SFM) jangka panjang dapat diwujudkan. Itu manfaat ekologis sertifikasi kayu, yakni sebagai salah satu instrumen untuk menghambat potensi kehilangan karbon, khususnya pada satuan-satuan wilayah kayu tersebut berasal. Secara ekonomi, sertifikasi kayu berpeluang memberikan efek jera bagi pengusaha yang menjalankan industri dengan bahan kayu ilegal dan atau memperdagangkan kayu ilegal. Dengan begitu, intensitas dan luas kawasan pembalakan liar dapat ditekan. Dan pada gilirannya, secara tak langsung itu akan menambah akumulasi stok karbon (green-carbon) yang bermanfaat menahan laju pemanasan global.
          Itu berarti, kayu disebut legal bila kebenaran asal kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindahtanganannya dapat dibuktikan. Yakni, dengan memenuhi semua persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. SVLK sendiri merupakan komitmen pemerintah kepada dunia jika produk kayu Indonesia adalah legal dan tidak merusak hutan. Peraturan yang akan diterapkan secara mutlak pada bulan Maret 2013 ini mewajibkan setiap kayu yang akan diekspor harus mencantumkan dokumen asalnya. Sebelum mendapatkan sertifikat ini, sebuah produk kayu harus bisa menunjukkan legalitasnya mulai dari lokasi penebangan, pengangkutan, hingga perdagangan. Sertifikasi ini harus dimiliki oleh Industri Primer dan Industri lanjutan yang menggunakan produk kayu. Meskipun peraturan ini merupakan sesuatu yang wajib, banyak pihak yang berkepentingan masih belum memahami mengenai tata pelaksanaannya. Untuk itu, merasa penting untuk membuat sebuah sistem informasi yang bisa diakses masyarakat umum mengenai pelaksanaan SVLK. Salah satunya melalui pembuatan website yang berisi berbagai informasi seputar SVLK. Mulai dari perundangan, tata cara pengajuan, hingga daftar lembaga yang bisa mendampingi pengusaha untuk mendapatkan SVLK.
          Hambatan lainnya adalah persoalan black campaign dari pada pelaku bisnis perijinan yang sudah pasti merasa terganggu dengan adanya sistem ini.  Mereka yang paling terkena dampak merugi (negatif) jika semua pihak menyiapkan perbaikan pelayanan, birokrasi perijinan dan transparansi proses penilaian dan legalitas dalam SVLK.  Sehingga seringkali media digunakan untuk menolak diberlakukannya SVLK, dengan menggunakan terminologi bahwa SVLK   mahal dan membebani pelaku usaha.  Untuk perbaikan tata-kelola kehutanan ini memang harus dibayar mahal oleh pelaku usaha kehutanan dan industri kehutanan skala besar. Di Sumatra Utara, banyak dari organisasi non-pemerintah yang bergiat pada isu kehutanan masyarakat atau konservasi. Latar belakang pendidikan sangat beragam. Meskipun di Sumatra utara ada keseragaman lembaga, tetap saja terdapat keberagaman latar belakang pendidikan. Ini menimbulkan potensi keberagaman kapasitas penyerapan informasi dan pengetahuan.
Tujuan dan Manfaat
        Tujuan dari kegiatan pembuatan sistem informasi on-line di kalangan industri kayu kota Medan adalah:
1.    Masyarakat kota Medan mendapat manfaat pengetahuan secara langsung berupa:
-    Pengetahuan akan pentingnya menjaga lingkungan hutan dan sekitarnya.
-    Mendapat pengetahuan baru  seputar SVLK dan tata pelaksanaannya di lingkungan industri kayu kecil, menengah, dan besar
-    Mengamati perkembangan kinerja pemerintah dan Menteri Kehutanan di bidang kehutanaan
2.    Industri kayu/pengusaha kota Medan mendapat manfaat pengetahuan secara langsung berupa:
-    Pengetahuan akan pentingnya menjaga lingkungan hutan dan sekitarnya.
-    Mengetahui perundangan, tata cara pengajuan, hingga daftar lembaga yang bisa mendampingi pengusaha untuk mendapatkan SVLK.
-    Mengamati perkembangan kinerja pemerintah dan Menteri Kehutanan di bidang kehutanaan.
-    Manfaat lanjutan, industri kehutanan mudah mendapatkan sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), atau setidak-tidaknya sertifikat legalitas jika benar-benar dimengerti dan dilaksanakan.
3.    Pemerintah mendapat kemudahan karena telah terbantu dalam hal:
-    Akses informasi yang mudah telah diinformasikan kepada seluruh pihak tanpa melibatkan banyak peran di dalamnya.
-    Tanpa menunggu kinerja beberapa pihak yang biasanya lambat dan cenderung melibatkan banyak peran.
-    Menjadi suatu gagasan untuk diterapkan di seluruh industri kehutanan skala kecil, menengah hingga besar di Indonesia.
-    Secara langsung program SVLK telah berhasil menyelamatkan sisa hutan dan meningkatkan martabat Indonesia di pasar Internasional.
-    Produk kehutanan dengan mudah diterima di pasar Internasional.

GAGASAN
SVLK bermula dari pembahasan multi-pihak sejak tahun 2003 yang kemudian melahirkan Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Peraturan inilah yang kemudian dikenal luas sebagai sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Peraturan ini kemudian disempurnakan melalui Peraturan Menteri Kehutanan P.68/Menhut-II/2011. SVLK merupakan bentuk tanggung jawab Indonesia dalam menjawab tantangan perdagangan kayu internasional yang memerlukan bukti legalitas.
P.38/Menhut-II/2009 jo. P.68/Menhut-II/2011 mengamanatkan agar unit usaha kehutanan memegang sertifikat pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL), atau setidak-tidaknya sertifikat legalitas. Sedangkan unit industri yang berbahan baku kayu, baik industri kayu primer maupun industri lanjutan, harus mendapatkan sertifikat legalitas. Penilaian PHPL/legalitas dilaksanakan secara independen oleh lembaga penilai/verifikasi yang diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), dan diawasi pelaksanaannya oleh pengawas independen yang berasal dari LSM/ masyarakat madani. Sampai akhir 2011 telah dilakukan penilaian kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) pada unit kelola/ pemegang ijin pada berbagai tipe pengelolaan hutan dengan total areal seluas kurang lebih 5,5 juta ha. 
Uni Eropa telah mengadopsi Timber Regulation untuk menghambat beredarnya kayu ilegal di pasar Eropa. Timber Regulation akan mulai efektif berlaku sejak Maret 2013. Mulai saat itu import kayu ke negara-negara anggota Uni Eropa yang berasal dari negara-negara yang ditengarai terjadi illegal logging akan dilakukan due diligence untuk menghindari masuknya kayu-kayu illegal ke pasar Uni Eropa. Due diligence dan Timber Regulation tidak berlaku manakala suatu negara eksportir kayu seperti Indonesia menandatangani Voluntary Partnership Agreement (VPA) dengan Uni Eropa. Sampai dengan tahun 2008, standar dan kelembagaan untuk sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) tersebut belum secara utuh memperoleh kesepahaman diantara para pihak pemegak kepentingan (multi-stakeholders) terutama bagi pihak-pihak yang kelak akan menggunakan sistem tersebut.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan multinasional, PT RAPP sangat ketat dalam menerapkan standar legalitas kayu. Karena itu, wajar mendapatkan sertifikasi SVLK. PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) mengantongi sertifikat Legalitas Kayu (LK) dari asesor independen PT Mutuagung Lestari (MAL). Sertifikat tersebut mengacu kepada Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang diterapkan Indonesia untuk memastikan bahan baku kayu yang diolah berasal dari sumber yang legal.
Perkembangannya sangat baik, karena sejak diundangkannya SVLK sebagai suatu kebijakan di Kementerian Kehutanan, guliran bola salju perubahan kebijakan semakin membesar.  Koordinasi antar kementerian terkait  dan lembaga lainnya terjadi secara nyata. Salah satunya adalah koordinasi antar Kementerian Perdagangan, Perindustrian, Ditjen Bea dan Cukai, KAN, para asosiasi dan beberapa pihak lainnya termasuk perwakilan LSM, tentang pergantian peran, fungsi dan mekanisme Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) sebagai lembaga endorsemen ekspor produk perkayuan Indonesia.  Selama ini, tata cara ekspor produk perkayuan diatur melalui peraturan Menteri Perdagangan             No. P.20/2009. Kemudian dengan keputusan Mendag No. Kep 405/2009 BRIK diberikan mandat untuk melakukan endorsemen terhadap 11 HS produk kehutanan. Karena SVLK  dinilai jauh lebih memiliki kredibilitas dan keberterimaan di pasar kayu internasional sebagai suatu sistem yang secara independen membuktikan legalitas produk perkayuan Indonesia melalui verifikasi administrasi dan fisik di lapangan, maka peraturan Menteri Perdagangan tersebut direvisi dengan melibatkan juga para pihak dan akan segera difinalkan oleh Menteri Perdagangan .
Melalui proses yang panjang antar pihak yang terus membahas kebijakan SVLK, perbaikan tata kelola diperlihatkan dengan terbangunnya dan guliran bola salju itu adalah telah ditetapkannya Peraturan Menteri Kehutanan                      No. P.7/Menhut-II/2011 tentang Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Kementerian Kehutanan beserta peraturan teknis terkait penetapan unit layanan informasi di Kementerian Kehutanan dan di unit kehutanan regional, serta integrasi norma terkait keterbukaan informasi dan keberadaan Licencing Information Unit (pusat informasi kayu legal) di Kementerian Kehutanan. Kesiapan sistem informasi  untuk memastikan berjalannya Licencing Information Unit (pusat informasi kayu legal) di Kementerian Kehutanan, diperlihatkan dengan disekapatinya mekanisme kerja antara LIU dengan Bea Cukai, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian, termasuk mendukung pemantauan independen yang efektif dengan jelasnya akses informasi di tingkat nasional dan daerah.  LIU telah diluncurkan pada tanggal 1 Agustus 2012, dimana sebelumnya telah disiapkan kelembagaan dan Direktorat Sistem Informasi Legalitas Kayu di Kementerian Kehutanan, yang telah disetujui oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) dan telah dilantik Pejabat dan perangkat yang menyertainya.
Kritisi dan kajian pelaksanaan Kebijakan P.38/2009 pun dilakukan banyak pihak, sehingga kebijakan inipun mengalami revisi menjadi P.68/2011, untuk mengakomodasi banyak hal persoalan-persoalan di lapangan dan juga perbaikan dari sistem.  Memang secara penuh perbaikan kebijakan ini belum dan tidak memenuhi keinginan semua pihak, namun titik-titik kritis persoalan dari implementasi kebijakan ini terus dilakukan.
Sebagai sebuah instrument perbaikan tata kelola kehutanan, maka semua pihak harus disiapkan untuk melakukan perubahan dalam tata kelola di masing-masing  lembaga. Dan kuncinya adalah pada perbaikan kebijakan dan peningkatan kapasitas.  Di pihak pemerintah, perbaikan birokrasi pelayanan dan sumber daya manusia mulai dilakukan.  Peningkatan kapasitas di pusat dan daerah sedang berlangsung, hal ini bisa terlihat dari alokasi anggaran di masing-masing lembaga pemerintahan baik pelaksanaan SVLK.  Hal ini terlihat nyata di Kementrian Kehutanan.  Dipihak Unit Usaha Kehutanan dan Industri Kehutanan, pembenahan  di manajemen dilakukan dengan menyiapkan seluruh aspek legalitas yang akan diverifikasi.  Hal ini tidak mudah karena berkaitan dengan pengelolaan resiko yang harus dilakukan oleh semua pihak dan memasukan ini sebagai investasi dan bukan sebagai biaya.
Hambatan dari berjalannya sistem ini adalah memastikan bahwa sistem ini didukung semua pihak dan mengingatkan kembali bahwa SVLK hanya salah satu intstrumen perbaikan tata kelola kehutanan, artinya SVLK bukan menjadi alat untuk menyelesaikan semua persoalan carut marutnya pengelolaan sumberdaya hutan.  Sebagai contoh, banyak ekspektasi bahwa SVLK harus menyelesai persoalan konflik lahan, misalnya. Jelas secara langsung, indikator dalam memverifikasi legalitas di lapangan tidak diperuntukan untuk menyelesaikan kasus konflik lahan dari unit usaha, karena persoalan konflik penggunaan lahan harus diselesaikan oleh pemerintah sepenuhnya.
Hambatan lainnya adalah persoalan black campaign dari pada pelaku bisnis perijinan yang sudah pasti merasa terganggu dengan adanya sistem ini.  Mereka yang paling terkena dampak merugi (negatif) jika semua pihak menyiapkan perbaikan pelayanan, birokrasi perijinan dan transparansi proses penilaian dan legalitas dalam SVLK.  Sehingga seringkali media digunakan untuk menolak diberlakukannya SVLK, dengan menggunakan terminologi bahwa SVLK   mahal dan membebani pelaku usaha.  Bagi saya perbaikan tata kelola kehutanan ini memang harus dibayar mahal oleh pelaku usaha kehutanan dan industri kehutanan skala besar.  Mereka dan para oknum pemerintah sudah terlalu lama menikmati carut marutnya kebijakan tata kelola kehutanan dan sekarang saat mereka keluar dari sistem ini. Tidak mudah, tapi harus!  Oleh karenanya saya mendorong agar pemerintah mengalokasikan APBN untuk menyiapkan dan memastikan terlaksananya SVLK di UKM dan IKM karena mereka justru yang harus mendapatkan pelayanan dan manfaat dari perbaikan sistem ini.  Kedepan, UKM dan IKM-lah yang bisa diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
SVLK juga terkait erat dengan tata pemerintahan dalam sektor kehutanan. Tata pemerintahan sektor kehutanan cukup membantu proses penguatan dan implementasi SVLK di tanah air karena konteksnya bukan membantu tapi mereka yang harus melakukan reformasi dan menjadi mesin perubahan bagi semua pihak di Indonesia.  Sekali lagi, tidak mudah tapi harus! Melihat kemajuan SVLK, MFP adalah sebuah program kerjasama Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Inggris bagi perbaikan tata kelola kehutanan.  Sehingga untuk melihat fokus MFP ke depan, sebaiknya ditanyakan pada kedua pihak tersebut, karena saya tidak memiliki kapasitas untuk menjawabnya.  Namun harapannya, peran MFP sebagai fasilitator proses dan pembangunan sistem ini perannya harus mulai dikurangi, agar bola salju yang telah bergulir cukup besar menjadi drive bagi perbaikan tata kelola sumber daya hutan di negeri ini karena SVLK adalah national brand.
Mungkin sebenarnya pasar bukan menginginkan SVLK, tetapi yang diinginkan adalah keterbukaan dalam pengaturan dalam tata usaha kayu sehingga semua produk kayu yang masuk ke pasar bisa diketahui oleh publik terhadap keabsahan legalitasnya termasuk mengetahui dari petak pohon mana produk tersebut ditebang, kawasan hutan atau bukan, pemiliknya siapa, bagaimana yang mengelola hutannya, dan sebagainya. Apapun bentuk sistem dan kelembagaan yang ingin digunakan yang penting bisa menjelaskan proses kesemua (transparansi) itu pada pasar, maka respon positif terhadap harga produk bersangkutan akan meningkat.
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu memiliki beberapa lembaga dalam pengaturannya, diantaranya adalah Badan Pelaksana, Lembaga Akreditasi, Lembaga Verifikasi, Lembaga Penyelesaian Keberatan, dan Lembaga Pemantau. Tiap lembaga dan badan tersebut memiliki fungsi dan tugas masing-masing yang pada umumnya anggota dalam lembaga-lembaga tersebut terdiri dari unsur-unsur berbagai pihak. Hal ini untuk menjamin bahwa proses dalam sistem ini adalah terbuka dan dapat diketahui oleh semua pihak terhadap kegiatan verifikasi pada produk kayu bersangkutan. Sehingga akan memberikan respon positif terhadap pasar baik nasional maupun internasional. Namun, kesemua lembaga dan badan tersebut akan memperoleh mandat dari Departemen Kehutanan, terkecuali untuk Lembaga Pemantau yang hanya perlu didaftarkan di Departemen Kehutanan. Selama ini dalam organisasi Departemen Kehutanan yang menangani pengelolaan dan pengaturan produksi hasil hutan berada dalam naungan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan.
Pembuatan sistem informasi on-line sebagai sarana pengenalan SVLK di kalangan industri kayu kota Medan ini tentunya akan melibatkan pihak yang memang jumlahnya tidak banyak. Dalam pembuatan media on-line ini, penulis mengharapkan campur tangan dari pihak dosen, badan pelaksana SVLK di tingkat kota, operator (teknisi) yang berpengalaman dibidang sistem informasi, lembaga verifikasi tingkat kota, dan lembaga pemantau keberhasilan sistem ini di kalangan yang mengaksesnya. Tentunya pihak-pihak tersebut memiliki peranannya masing-masing dalam pelaksanaan sistem infomasi ini di lapangan.. Diharapkan tingkat keberhasilan program ini dapat dicapai semaksimal mungkin tanpa menunggu kinerja pemerintahan yang terkadang begitu lambat. Sehingga penulis mengharapkan dengan dilaksanakannya program ini kerja pemerintah telah tertolong dalam hal tenaga dan waktu.  Tentunya program ini juga dapat lebih dikembangkan dan diterapkan di seluruh kalangan industri kayu nasional sehingga berjalan maksimal dibandingkan harus terjun langsung ke lapangan melakukan penyuluhan skala nasional. Hal ini tentunya begitu susah karena memerlukan waktu yang panjang dan tenaga yang besar. Belum lagi tingkat keberhasilannya dapat dikatakan kurang maksimal.
Dalam pelaksanaan pembuatan sistem informasi on-line ini, langkah konkrit yang dapat diambil yaitu penulis menghubungi pihak dosen dan berbicara langsung mengenai perihal program yang akan dilaksanakan. Pihak dosen diharapkan dapat memberikan arahan dan bantuan terkait mencari lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang pelaksanaan SVLK di kota Medan dan membantu penulis agar dapat bergabung dalam program pelaksanaan SVLK di tingkat kota (skala kecil) atau setidaknya lembaga pelaksanaan membantu dalam hal pembuatan sistem informasi on-line tersebut. Langkah berikutnya tentunya akan mudah karena sudah terkoneksi secara langsung dengan satu lembaga atasannya. Berikutnya penulis akan menghubungi pihak operator (teknisi) yang berpengalaman di bidang pembuatan sistem informasi. Setelah disetujui, penulis akan menjelaskan media on-line yang seperti apa yang harus dibuat. Tentunya menarik dan bermutu. Sedangkan lembaga verifikasi berfungsi membantu masyarakat luas menjawab berbagai keluhan, pertanyaan, dan keberatan yang mereka alami dalam pelaksanaan guna memperoleh sertifikat legalitas. Lembaga ini tentunya harus ramah, cermat, dan berpengalaman dibidangnya. Setelah semua berhasil dilaksanakan, penulis meminta lembaga pemantau untuk memantau seluruh kinerja lembaga dan mengevalusi keberhasilan program di lapangan. Hasil dari pelaksanaan program dicatat, didata tingkat kesuksesannya kemudian diolah untuk mendapatkan kriteria kelayakan untuk diterapkan skala nasional di seluruh kalangan industri kehutanan.


KESIMPULAN
Gagasan yang akan penulis ajukan adalah membuat sistem informasi     on-line sebagai media pengenalan SVLK bagi para pihak yang memuat informasi-informasi mengenai perundangan, tata cara pengajuan, hingga daftar lembaga yang bisa mendampingi pengusaha untuk mendapatkan SVLK. Sistem informasi ini nantinya dapat diakses oleh semua kalangan, khususnya industri kehutanan kota Medan. Karena penulis melihat bahwa industri kehutanan yang berada di kota Medan belum sepenuhnya memiliki sertifikat legalitas yang disebabkan karena berbagai industri kehutanan yang ada belum sepenuhnya mengerti tentang apa itu SVLK, manfaatnya, ketentuannya, dan cara mendapatkan SVLK. Sehingga melalui program ini, kalangan industri kehutanan khususnya di kota Medan mendapat pengetahuan baru akan pentingnya mengantongi sertifikat legalitas. Hal ini tentunya berdampak secara langsung pada pengelolaan hutan yang lestari sehingga mampu menjaga sisa hutan yang ada dan meningkatkan martabat Indonesia di mata Internasional karena pelaksanaan SVLK di dunia akan pertama kali dilaksanakan di Indonesia. Melalui hal kecil penulis mengambil peran untuk memajukan dan mensukseskan pelaksanaan SVLK.
Teknik dalam pembuatan sistem informasi on-line sebagai media pengenalan SVLK di berbagai industri kehutanan kota Medan adalah melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga yang terkait di bidangnya, yakni dosen, lembaga pelaksana, operator (teknisi) yang berpengalaman, lembaga verifikasi, dan lembaga pemantau. Penulis melihat pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang terlibat sudah menjamin keberhasilan program ini. Sistem informasi yang akan diajukan sendiri adalah berbentuk website resmi Dinas Kehutanan Provinsi Kota Medan yang berisikan informasi lengkap seputar SVLK dan bagaimana cara mendapatkannya. Selain itu, website ini berisi kolom pertanyaan, keluhan, dan keberatan masyarakat akan pelaksanaan SVLK yang ada, yang nantinya akan dijawab secara langsung oleh bagian verifikasi yang berpengalaman sehingga tidak ada keragu-raguan untuk mengikutinya. SVLK yang sifatnya wajib didapatkan haruslah benar-benar dapat diterima masyarakat dan kalangan industri kehutanan. Sehingga sistem informasi on-line ini terbuka secara umum untuk diakses masyarakat luas dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan akan segera dijawab dalam waktu 1x24 jam. Sistem informasi ini juga dilengkapi video-video menarik dan media interaktif yang bernuansa positif. Website ini nantinya bisa diakses oleh semua kalangan di www.sumateracertifiedwood.com. Interaktif juga terbuka 1x24. Semua akan diusahakan secara maksimal agar tidak ada lagi industri kehutanan dan masyarakat luas yang tidak mengetahui SVLK secara luas dan menyeluruh.
          Penulis percaya apabila program ini dilaksanakan akan berdampak positif terhadap semua pihak termasuk kalangan industri kehutanan sendiri. Prediksi penulis bahwa tingkat keberhasilan program ini mencapai 80% apabila dilaksanakan. Tentunya semua pihak yang mengakses website dan benar-benar mempelajarinya mendapatkan pengetahuan secara langsung. Manfaat dan dampak dari gagasan ini yaitu secara langsung program SVLK telah berhasil menyelamatkan sisa hutan dan meningkatkan martabat Indonesia di pasar Internasional serta produk kehutanan dengan mudah diterima di pasar Internasional karena telah memiliki sertifikat legalitas.


DAFTAR PUSTAKA
Arifenie NF. 2013. SVLK Berlaku, 220 Eksportir Belum Bersertifikat. Diakses Dari: http://www.industri.kontan.co.id/news/svlk-berlaku-220-eksportir-belum-bersertifikat. Diakses Pada: [21 Maret 2013][18.03 WIB]
Bayunanda A, dkk. 2013. Lebih Dari 300 UKM Menuju Sertifikasi SVLK Dalam 3 Tahun. Siaran Pers: Jakarta
Dharmawan HA, dkk. 2012. SVLK, Jalan Menuju REDD+. Forest Governance and Multistakeholder Forestry Programme: Jakarta
Sasongko AB. 2012. Sertifikasi Kayu: Pemantauan SVLK Masih Lemah. Diakses Dari: http://www.solopos.com/2012/12/13/sertifikasi-kayu-pemantauan-pelaksanaan-svlk-masih-lemah-357466. Diakses Pada: [21 Maret 2013][19.20 WIB]
Sudarsono D. 2009. SVLK Menuju Pengelolaan Hutan Lestari & Legalitas Kayu. Yayasan Samanta: Nusa Tenggara Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar